Edhi Sunarso: Pengabdian Sang Gerilyawan dan Pematung Monumen

November 29, 2017 | Author: Haqqi Hasan | Category: Visual Arts, Seni Rupa Indonesia, Edhi Sunarso, Scluptor
Share Embed


Deskripsi Singkat

EDHI SUNARSO Pengabdian Sang Gerilyawan dan Pematung Monumen oleh: Inamul Haqqi Hasan

Pendahuluan Patung, menurut Encyclopedia Britannica adalah the art of representing observed or imagined objects in solid materials and in three dimensions (seni yang menggambarkan objek hasil pengamatan atau imajinasi dalam bentuk material padat tiga dimensi). Patung merupakan salah satu bentuk seni tertua, artefaknya ditemukan di guagua prasejarah. 1 Di Indonesia, sebagai bangsa yang memiliki sejarah Hindhu dan Buddha, patung atau arca menjadi benda yang jamak ditemukan. Selain sebagai media ritual dan koleksi karya seni, patung dalam kehidupan kontemporer menjadi landmark suatu wilayah. Tentu masyarakat telah mengenal landmark berupa monumen yang terdapat di pusat kota Jakarta, tepatnya di Bundaran Hotel Indonesia, yaitu patung “Selamat Datang”. Pertanyaannya, seberapa gelintir masyarakat umum (selain masyarakat seni) yang mengenal siapakah pematungnya? Jangan-jangan, seperti dikatakan oleh Sulistyo Budi dalam judul artikelnya di The Jakarta Post: “a forgotten sculptor” 2. Adalah Edhi Sunarso, seniman yang bertanggung jawab pada tiga patung monumental di Jakarta, yaitu patung “Selamat Datang” di Bundaran HI, patung “Dirgantara” di Pancoran (juga dikenal dengan Tugu Pancoran), dan patung “Pembebasan Irian Barat” di Lapangan Banteng. Tentu saja, masih banyak karya-karya lain yang ia ciptakan, baik berupa patung koleksi pribadi maupun patung monumental. Makalah ini hendak mengangkat perjalanan hidup Edhi Sunarso dalam dinamika perkembangan seni rupa di Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan diawali dengan cerita tentang kehidupan awal Edhi Sunarso, perkenalannya dengan dunia seni dan Presiden Sukarno, pengaruh prinsip seni untuk rakyat pada idealisme berkesenian Edhi Sunarso, karya-karya pentingnya, dan terakhir kesimpulan.

1 2

Wibowo, 2013: 93 http://www.thejakartapost.com/news/2001/07/01/edhi-sunarso-a-forgotten-sculptor-sukarno-era.html

Gambar 1. Foto Edhi Sunarso 3 Edhi untuk Sunarso 4 Dilahirkan di Salatiga pada 2 Juli 1932, ia diberi nama Sunarso oleh keluarga Holan Atmojo yang mengangkatnya sebagai anak dari ayah kandungnya, Somo Sardjono. Holan Atmojo adalah seorang kepala Mantri Ukur Pertanahan Belanda, sehingga dengan jabatan orang tua angkatnya itu, Sunarso berkesempatan mendapatkan pendidikan. Saat usianya enam tahun (1939), ia masuk Vroobel School atau Taman Kanak-kanak di Gunungsari, Betawi 5. Segala fasilitas yang diterimanya sebagai anak angkat pegawai kantor Belanda tidak berlangsung lama. Tragedi jatuhnya pesawat Belanda di Kemayoran yang mengakibatkan kebakaran besar membuatnya terpisah dari keluarganya. Sunarso yang pada waktu itu berada di sekolah diungsikan oleh Hadiwidjaja yang merupakan guru di Vanlith School. Akhirnya, karena alasan keamanan Sunarso dibawa mengungsi ke Cikampek oleh keluarga Hadiwidjaja. Baru satu minggu di Cikampek, Sunarso dibawa ke Pegaden Baru karena rencana kedatangan Dai Nippon. Setelah meninggalnya Hadiwidjaja, Sunarso berkenalan dengan beberapa pejuang pro republik yang seringkali singgah di rumah Hadiwidjaja. Salah satunya adalah Komandan Soepriyatna yang kemudian memberikan tugas pada Sunarso untuk 3

Diunduh dari http://news.indonesiakreatif.net/wordpress/wp-content/uploads/2014/05/ 20140520_Edhi_Sunarso_5.jpg 4 Disarikan dari Edhi Sunarso (http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/edhsu.html), Pematung Tugu Pancoran, Usia 14 Tahun Biasa Sabotase Tentara NICA (http://www.merdeka .com/peristiwa/pematungtugu-pancoranusia-14-tahun-biasa-sabotase-tentara-nica-pematung-edhi-sunarso-3.html), dan Kisah Pematung Pancoran, Belajar di Bui, Jadi Mahasiswa Gadungan (http://www.merdeka.com/peristiwa/kisahpematung-pancoran-belajar-di-bui-jadi-mahasiswa-gadungan-pematung-edhi-sunarso-5.html). 5 Sekarang Gunung Sahari, Jakarta.

2

mengantarkan surat ke pos-pos penjagaan pro republik dengan menyamar sebagai anak sekolah. Dengan penyamarannya itu, ia sukses mengelabui tentara Belanda. Bahkan, Sunarso beberapa kali menumpang truk-truk Belanda untuk berkeliling ke desa-desa menyampaikan surat ke pos-pos pro republik. Pada usia 14 tahun (1946), Sunarso mempimpin 23 orang melakukan gerakan dan sabotase di daerah-daerah. Saat melakukan pencegatan patroli bersama dengan Mayor Soekirno di Cikuda, salah seorang anggota Mayor Soekirno, Edhi tertembak dan tewas di tempat. Wafatnya Edhi yang merupakan salah satu pejuang muda dan pemberani sekaligus keponakan dari Mayor Soekirno membuatnya terpukul. Untuk mengenangnya, Mayor Soekirno memberikan nama Edhi kepada Sunarso. Sejak saat itulah Sunarso dikenal dengan nama Edhi Sunarso. Namun, saat melakukan perjalanan pulang dari Cikuda, Edhi Sunarso ditangkap oleh NICA 6. Ia terpaksa menyerah karena sebagian dari anggotanya tertangkap oleh NICA saat melewati perkampungan yang dibakar oleh NICA. Sejak saat itu Edhi Sunarso meringkuk di penjara sebagai tahanan NICA. Setelah mengalami penyiksaan panjang dan beberapa kali pindah penjara, akhirnya Edhi Sunarso dipindahkan ke penjara Kebon Baru, Bandung. Kondisi penjara tersebut lebih manusiawi, tidak ada lagi penyiksaan oleh tentara KNIL 7 dan ukuran sel tahanan lebih besar. Di Kebon Baru ia mulai melukis dan membuat kerajinan tangan bersama dengan 2.400 tahanan lainnya. Semua peralatan menggambar seperti conte, krayon dan kertas bisa ia dapatkan di kantin. Barang-barang tersebut ia beli dengan uang saku bagi para tahanan sebesar 2 gulden yang diberikan setiap hari Sabtu. Pada Juli 1949, Edhi dibebaskan pada usia menjelang 17 tahun. Hari itu, ia memutuskan melakukan perjalanan ke Yogyakarta dengan berjalan kaki menyusul induk pasukan. Akan tetapi, setibanya di Yogyakarta ternyata induk pasukan telah melakukan long march ke Jawa Barat. Akhirnya ia melapor ke kantor KUDP (Kantor Urusan Demobilisasi Pejuang) agar terdaftar sebagai pejuang RI.

6

Nederlandsch Indië Civil Administratie, tentara sekutu yang bertugas mengontrol daerah Hindia Belanda setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada Perang Dunia II 7 het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).

3

Prestasi Internasional Si Seniman Tanpa Ijazah 8 Setiap hari, Edhi Sunarso melakukan perjalanan ke kantor KUDP Yogyakarta untuk apel sore. Dalam perjalanan itulah ia sering berpapasan dengan siswa-siswa ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) 9 yang sedang berpraktik melukis. Suatu ketika, Edhi tertarik mengikuti mereka saat sedang menggambar sambil ia juga ikut menggambar. Hingga akhirnya, Hendra Gunawan 10 selaku pengajar di ASRI menghampirinya dan menanyakan asal-usulnya. Atas bantuan Hendra Gunawan, Affandi, dan Katamsi, Edhi yang tak memiliki ijazah apapun diterima sebagai siswa toehorder 11 di ASRI. Kecintaan Edhi terhadap seni makin menguat. Ia pun diajak oleh Hendra Gunawan bergabung dengan Sanggar Pelukis Rakyat yang didirikannya. Di sana bakat Edhi semakin tampak cemerlang hingga dipercaya Hendra untuk turut serta dalam tim pembangunan Tugu Muda Semarang tahun 1952. Tak hanya di kancah nasional, pada tahun 1953 ia dan dua orang mahasiswa ASRI lainnya mengikuti kompetisi patung internasional di London. Namun, karena dua mahasiswa lainnya menggunakan tanah liat sebagai bahan patung, karya mereka rusak dalam perjalanan. Sehingga karya Edhi yang terbuat dari batu menjadi satu-satunya pantung yang berhasil sampai di London dalam keadaan utuh. Dalam kompetisi tersebut karya Edhi hanya mendapat peringkat ketujuh belas. Namun, setelah karya-karya peserta kompetisi dipamerkan secara terbuka, terjadi desakan dari publik untuk melakukan penjurian ulang tanpa mencantumkan nama dan asal negara peserta dalam karya. Dalam penjurian tersebut, karya Edhi yang berjudul "The Unknown Political Prisoner" mendapatkan posisi kedua dari 117 negara yang ikut serta dalam kompetisi. Edhi sendiri tidak mengetahui prestasi tersebut, justru Presiden Sukarno yang terlebih dulu mengetahuinya. Saat peresmian Tugu Muda Semarang, Bung Karno mendatangi dan menjabat tangan Edhi memberikan selamat. Tentu hal itu membuat Edhi bingung, hingga akhirnya ia membaca sebuah artikel dalam buletin Universitas Gadjah Mada yang ditulis oleh Dr. Sarjito menceritakan prestasinya mendapatkan juara dua dalam kompetisi Internasional. 8

Disarikan dari “Untuk Generasi Mendatang” dalam Katalog Pameran “Monumen”, Kisah Pematung Pancoran, Belajar di Bui, Jadi Mahasiswa Gadungan (http://www.merdeka.com/ peristiwa/kisah-pematungpancoran-belajar-di-bui-jadi-mahasiswa-gadungan-pematung-edhi-sunarso-5.html), dan film dokumenter Edhi Sunarso: Artist/Soldier. 9 Sekarang menjadi Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. 10 Mengenai sosok Hendra Gunawan akan diuraikan pada bahasan berikutnya. 11 Siswa toehorder atau siswa pendengar adalah siswa yang hanya boleh mengikuti kegiatan praktik tetapi tidak boleh mengikuti perkuliahan teori di kampus.

4

Tahun 1955, setelah selesai belajar di ASRI, Edhi mendapat kesempatan belajar seni di Visva Bharati Robindrannat Tagore University Santiniketan, India atas biaya UNESCO. Di India, ia belajar selama dua setengah tahun dan sempat meraih penghargaan dari Calcutta University dan penghargaan The Best Exhibit pada All India Fine Art and Exhibition. Sepulang dari India, Edhi mendapat tugas mengerjakan relief perjuangan untuk Museum Perjuangan Yogyakarta bersama Abdul Salam, Abdul Kadir, Subandrio, dan Sidharta dengan menggunakan batu cor 12. Edhi juga diminta mengajar di ASRI yang telah berganti nama menjadi STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) mengampu mata kuliah seni patung.

Bung Karno dan National Pride Perkenalan Edhi Sunarso dengan Presiden Sukarno merupakan titik paling penting dalam perjalanan kesenimanannya. Bung Karno berpandangan bahwa karakter dan identitas kota perlu dibangun, untuk membedakan dan menarik garis tegas masa lampau dan masa kini. Bukan hanya objek-objek fungsional yang berguna bagi orang banyak, tetapi juga penanda trimatra pengusung simbol kepahlawanan dan keagungan.13 Semangat “berdikari” Bung Karno pula lah yang mendorong Edhi menjadi pematung dengan karya-karya besar monumental. Bung Karno berprinsip agar pembangunan negara, termasuk pendirian monumen, harus dikerjakan oleh anak bangsa. Tahun 1958, menjelang pelaksanaan Asian Games IV di Jakarta yang akan diselenggarakan pada tahun 1962, Bung Karno memanggil Edhi ke Jakarta dan memintanya mengerjakan patung perunggu setinggi sembilan meter. Tentu permintaan itu mengejutkan Edhi, masalahnya ia belum pernah membuat patung dengan material perunggu. “Pak, jangankan sembilan meter, sembilan sentimeter pun saya belum pernah membuat patung perunggu. Bagaimana mungkin saya bisa melaksanakan pekerjaan ini?”, jawab Edhi dengan canggung. 14 Mendengar jawaban tersebut, Bung Karno dengan tegas berkata pada Edhi, “Hei, kau punya national pride ndak? Kau berani perang melawan Belanda, masak bikin patung saja ndak berani?” 15 Kebanggaan kebangsaan (national pride) memang lantang digaungkan oleh Bung Karno. Hal itu tergambarkan dalam salah satu pidatonya, “Saya

12

Merupakan relief pertama yang menggunakan batu cor. Hasan, 2010: 5. 14 Sunarso, 2010: 11. 15 Edhi Sunarso menirukan Presiden Sukarno dalam film dokumenter Edhi Sunarso: Artist/Soldier. 13

5

menghendaki juga agar supaya bintang-bintang di langit seribu tahun lagi, dua ribu tahun lagi, lima ribu tahun lagi, sepuluh ribu tahun lagi menyaksikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar.” 16 Pada saat pengerjaan patung “Dirgantara”, Bung Karno juga dengan geloranya memberi semangat pada Edhi Sunarso yang saat itu kesusahan menemukan ide bentuk patung. “Ed, kita ini tidak bisa membuat pesawat terbang, apalagi pesawat tempur. Tetapi waktu zaman revolusi kita tetap berani menerbangkannya. Jadi buatlah patung yang menonjolkan semangat keberanian itu. Apa yang kita punya? Kita punya semangat. Kita punya Gatutkaca!”, kata Bung Karno. 17

“Seni untuk Rakyat” dan Pengabdian Edhi Sunarso. Sebagaimana telah menjadi pemahaman umum, Raden Saleh Syarif Bastaman dianggap sebagai sosok yang menjadi tonggak awal seni rupa, khususnya lukis, modern Indonesia. Alasannya, ia adalah pelukis Indonesia pertama yang mempelajari teknik melukis gaya romantik di Eropa. Namun, permasalahannya adalah jarak antara Raden Saleh dengan generasi pelukis berikutnya terlalu jauh, dan tidak ada yang melanjutkan gaya romantiknya. 18 Adalah Sindudarsono Sudjojono, atau lebih dikenal dengan S. Sudjojono, yang kemudian dianggap sebagai pelopor kebangkitan seni lukis modern Indonesia. Sudjojono yang tergabung dalam PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) menentang seni lukis Mooi Indie, yaitu lukisan yang memperlihatkan sudut pandang orang asing yang terpesona atas keelokan pemandangan Indonesia. Bagi Sudjojono, lukisan seperti itu adalah persembunyian pelukis dari kenyataan yang dihadapi masyarakat. 19 Sudjojono memiliki prinsip bahwa seniman harus sadar politik dan seni harus diabdikan bagi perjuangan sosial-politik. Pandangan tersebut bisa jadi terbentuk dari kegemarannya membaca buku filsafat dan sastra Eropa, serta kekagumannya pada Picasso dan Diego Rivera. 20 Tahun 1946, Sudjojono bersama pelukis-pelukis seideologis lain, salah satunya Hendra Gunawan, mendirikan SIM (Seniman Indonesia Muda). SIM inilah yang menjadi embrio lahirnya gerakan kesenian terbesar di tahun 1960-an, LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

16

Dikutip dari Hasan, 2010: 5. Dikutip dari Antariksa, 2008: 44. 18 Diyanto, 2013: 77. 19 Ibid 20 Antariksa, 2008: 46. 17

6

Hendra Gunawan sendiri nantinya keluar dari SIM karena tidak sepaham dengan Sudjojono soal pembagian subsidi dari pemerintah. 21 Ia kemudian mendirikan Sanggar Pelukis Rakyat yang nantinya Edhi Sunarso bergabung di sana. Hendra Gunawan inilah yang dianggap sebagai tokoh pelopor seni patung modern Indonesia. Bersama Sanggar Pelukis Rakyat, ia memahat batu-batu di sungai Kaliurang dengan teknik-teknik yang dipelajari dari buku-buku dari Barat. Namun, baik SIM maupun Sanggar Pelukis Rakyat yang sama-sama bermarkas di Yogyakarta tetap memegang idealisme “seni untuk rakyat” 22 sebagaimana pandangan Sudjojono di atas. Idealisme tersebut juga dibawa ke pengajaran di ASRI di mana Sudjojono dan Hendra Gunawan sama-sama menjadi pengajar. Konsep “seni untuk rakyat” ini tentu saja sangat cocok dengan latar belakang Edhi Sunarso sebagai seorang pejuang. Maka tak heran jika ia menganggap segala kerja seninya merupakan pengabdian. “Memvisualkan peristiwa sejarah itu adalah sebuah pengabdian”, kata Edhi. Dalam benaknya telah dicamkan dalam-dalam pesan Bung Karno, “bukan untuk aku, bukan untuk para sejarawan, tapi untuk bangsa!”

Tiga Monumen Melanjutkan cerita pembangunan patung “Selamat Datang” di atas, setelah dikobarkan keyakinannya oleh Bung Karno, Edhi pun kembali ke Yogyakarta. Tetap saja, ia menyimpan perasaan panik dan cemas, kalau-kalau benar-benar tidak sanggup melaksanakan keinginan Bung Karno. Sampai di Yogyakarta, orang pertama yang ia temui adalah Gardono, seorang teman lama. Gardono adalah orang yang senang melakukan eksperimen sehingga ia berharap menemukan pemecahan masalah yang ia hadapi. Edhi dan Gardono kemudian menemui Pak Mangun dan Pak Darmo, dua orang pensiunan bengkel Pengok, sebuah bengkel kereta api di Yogyakarta. Sayangnya, ternyata mereka juga tidak pernah mengecor perunggu. Edhi dan Gardono mendesak dan meyakinkan bahwa teknik pengecoran perunggu dapat dipelajari dari buku. Akhirnya kedua orang itu menyanggupi. Selanjutnya mereka menghubungi beberapa toko bahan dan beberapa orang yang sekiranya siap meminjamkan alat. 21

Ibid Paham ini adalah lawan dari “seni untuk seni” yang menekankan pada pencapaian estetik dan kebebasan ekspresi individu. Dalam dinamika seni rupa Indonesia modern, paham “seni untuk seni” diidentikkan dengan “aliran Bandung”, karena pengajar-pengajar dari Barat di Departemen Arsitektur dan Seni Rupa Intitut Teknologi Bandung (ITB) lebih menekankan pada metode dan teori estetika. Sedangkan paham “seni untuk rakyat” diidentikkan dengan “aliran Yogyakarta” karena menjadi idealisme berkesenian di SIM, Sanggar Pelukis Rakyat, dan juga pengajaran di ASRI yang mempengaruhi siswa dengan sikap-sikap politik. 22

7

Setelah sampai batas waktu yang diminta oleh Bung Karno dan semua telah siap, Edhi kembali ke Jakarta untuk menemui Bung Karno dan menyatakan sanggup melaksanakan pembuatan patung “Selamat Datang”. Pekerjaan pun dimulai. Edhi dan timnya mengerjakan model patung setinggi sembilan meter dengan menggunakan 15 ton gipsum. Setelah selesai pembuatan model, tim peninjau dari panitia pembangunan monumen, para duta besar, termasuk Bung Karno sendiri berkunjung ke bengkelnya. Saat itulah, Edhi memberanikan diri mengemukakan pendapatnya bahwa patung tersebut terlalu besar untuk ukuran kawasan bundaran Hotel Indonesia. Bung Karno pun menjawab, “Kamu aneh sekali, Dhi. Patung sudah jadi sembilan meter, masak mau dikecilkan lagi?” Lalu Bung Karno meminta pendapat Ir. Sutami yang pada saat itu ikut dalam rombongan, Sutami pun mendukung pendapat Edhi. Akhirnya, patung dibuat setinggi enam meter seperti yang dapat kita lihat saat ini. 23

Gambar 2. Patung “Selamat Datang” dari Jarak Dekat. 24

23

Disarikan dari Sunarso, 2010: 12 Diunduh dari http://www.jakarta.go.id/web/system/jakarta2011/public/img/photo_event/selamat_datang_9_16692_201204 0191556_udin.JPG 24

8

Gambar 3. Patung “Selamat Datang” dari Jarak Jauh. 25

Gambar 4. Patung “Selamat Datang” Tahun 1962. 26

Patung “Selamat Datang” menampilkan dua figur laki-laki dan perempuan dengan posisi berdiri berdampingan. Ditempatkan di atas pedestal berbentuk dua tiang kaki dengan ketinggian 20 meter yang terletak tepat di tengah-tengah bundaran HI. Tampak ekspresi wajah kedua figur menunjukkan mimik muka berseri. Tangan kanan keduanya terangkat ke atas seolah melambai untuk menyambut, sedangkan tangan kiri sosok perempuan menggenggam seikat bunga. Sosok laki-laki dan perempuan hadir sebagai ungkapan keramahtamahan, kesejajaran laki-laki dan perempuan mewakili citra bangsa yang beradab. 27 25

Diunduh dari https://www.google.com/search?q=edhi+sunarso&es_sm=93&source=lnms&tbm= isch&sa=X&ei=lRRhVIqDIaeSmwWR2IC4BA&ved=0CAgQ_AUoAQ&biw=1600&bih=756#tbm=isch&q= patung+selamat+datang 26 Disalin dari Katalog Pameran “Monumen” 27 Pattiasina, 2014: 57.

9

Selesai patung “Selamat Datang”, Presiden Sukarno kembali meminta Edhi untuk mengerjakan patung “Pembebasan Irian Barat” di Lapangan Banteng. Gagasan pembangunan patung untuk memperingati perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda tersebut dicetuskan oleh Soekarno dalam pidatonya di Yogyakarta pada pertengahan tahun 1962, saat mencanangkan TRIKORA (Tiga Komando Rakyat).

Gambar 5. Patung “Pembebasan Irian Barat” dari Jarak Dekat. 28

Gambar 6. Patung “Pembebasan Irian Barat” dari Jarak Jauh. 29

28

Diunduh dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/fd/Irian_Barat_Statue.JPG

10

Gambar 7. Peresmian Patung “Pembebasan Irian Barat” oleh Presiden Sukarno Tahun 1962. 30

Tahun 1964, Edhi kembali mendapat tugas dari Bung Karno untuk membuat monumen “Dirgantara” demi mengenang sifat kepahlawanan para pejuang Indonesia bidang kedirgantaraan. Seperti dua patung sebelumnya, ide dasar penciptaan patung “Dirgantara” datang dari Bung Karno sendiri. Seperti telah diceritakan di pembahasan sebelumnya, Bung Karno menyebut “Kita punya Gatutkaca!” lalu berpose seperti Gatutkaca dan meminta Edhi membuat sketnya. “Cepat Ed! Segera kau buat sketnya! Seperti ini! Seperti ini!”, tegas Bung Karno. Di tengah perjalanan, pengerjaan patung “Dirgantara” sempat terhenti karena Edhi Sunarso kehabisan uang dan sakitnya Bung Karno. Dengan terbaring lemah dan wajah pucat, Bung Karno bertanya,“Edhi, apa patung “Dirgantara” sudah selesai kau kerjakan?” Edhi menjawab, “Sudah Pak.” “Lalu mengapa tidak segera kau pasang?” “Saya tidak punya biaya lagi, Pak. Bahkan saya terbelit banyak utang bahan dengan beberapa orang. Rumah saya pun sudah disegel karena menjadi agunan saya untuk meminjam bahan. Maaf Pak saya lancang, tapi begitulah kondisinya.” 31 Bung Karno kemudian menjual salah satu mobilnya untuk membiayai proyek patung “Dirgantara”. Dari hasil penjualan mobil itu, bagian-bagian patung dapat diangkut dari Yogyakarta ke Jakarta dan dimulai pemasangannya. Menjelang finishing, Edhi menerima kabar berpulangnya Bung Karno. Maka, monumen “Dirgantara” adalah monumen yang tidak pernah terbayar lunas dan tidak pernah diresmikan. 29

Diunduh dari http://3.bp.blogspot.com/-cNxHAeJAbjE/UbX0D8EggVI/AAAAAAAAAj4/ q2nEYjYc0vc/s1600/1A19DC546BE4ED5B4177DE64D19B0.jpg 30 Disalin dari Katalog Pameran “Monumen” 31 Dikutip dari Sunarso, 2010: 16

11

Gambar 8. Patung “Dirgantara” dari Jarak Dekat. 32

Gambar 9. Patung “Dirgantara” dari Jarak Jauh. 33

Gambar 10. Proses Pengerjaan Patung “Dirgantara” Tahun 1966. 34 32

Diunduh dari http://1.bp.blogspot.com/-fqTnxwbwKl8/UxmX3JlA8vI/AAAAAAAAACE/ ZFCZsE73MhY/s1600/patung+pancoran+01.jpg 33 Diunduh dari https://ariesaksono.files.wordpress.com/2008/03/dscf51432-copy.jpg

12

Diorama 35 Bersamaan dengan proses pembuatan patung “Pembebasan Irian Barat”, Bung Karno mengirim delegasi seniman berjumlah 18 orang dari Indonesia yang dipimpin oleh Saptoto dan Haryadi untuk belajar membuat diorama ke Jepang, Belanda, dan beberapa negara lain yang mempunyai museum diorama. Pengiriman delegasi tersebut untuk mewujudkan keinginan menciptakan diorama sejarah di Museum Nasional. Tepat tiga hari setelah peresmian patung “Pembebasan Irian Barat”, kedelapan belas seniman yang dikirim Bung Karno telah kembali ke Indonesia dan kemudian membuat contoh yang dipresentasikan kepada Bung Karno. Ternyata, contoh diorama tersebut ditolak oleh Bung Karno dan sejarawan yang hadir pada saat itu dengan berbagai alasan, salah satuya karena contoh yang dibuat tidak menggambarkan gerak atau episode perjuangan. Dua minggu kemudian, Edhi dipanggil oleh Bung Karno dan memutuskan ia sebagai pelaksana pembuatan diorama dengan diberi empat jilid buku sejarah yang telah disusun oleh 23 orang sejarawan senior yang tergabung dalam tim sejarawan. Lagi-lagi, Edhi terkejut dan merasa mustahil melaksanakannya. Kali ini bukan saja karena ia tidak pernah membuat diorama, tetapi ia bahkan tidak pernah melihat seperti apa itu diorama. Kembali lagi, Bung Karno mendesaknya dengan mengatakan, “Apa kamu nggak malu kalau untuk diorama sejarah kita, aku suruh Madame Tussaud mengerjakan?” Mengerjakan diorama adalah pekerjaan yang sangat rumit, ada banyak tahap yang harus dilalui dengan melibatkan banyak seniman, bukan hanya pematung tetapi juga perupa lainnya. Edhi juga harus taat pada sejarah dan memvisualisasikan potongan adegannya dalam bentuk realistik, maka ia juga harus melakukan penelitian langsung untuk memiliki gambaran atas situasi dan bentuk tempat kejadian yang sebenarnya. Edhi mengakui, sebagai seorang seniman, terkadang ia merasa jenuh dengan pekerjaan diorama tersebut. Bukan hanya waktu pengerjaan yang sangat lama, tetapi juga kebebasan berekspresi ikut terkekang. Akan tetapi, semangatnya terus disulut oleh kesadaran bahwa diorama yang ia kerjakan tersebut adalah untuk generasi mendatang agar memiliki pengetahuan mengenai sejarah. Bung Karno pernah berkata kepada Edhi bahwa beliau menunjuknya bukan karena ia dianggap mampu melakukan pekerjaan itu, tetapi pengerjaan itu membutuhkan sikap pengabdian yang tinggi terhadap bangsa. Menurut Bung Karno, Edhi mampu karena memiliki jiwa pengabdian itu. 34 35

Disalin dari Katalog Pameran “Monumen” Disarikan dari Sunarso, 2010: 13-15.

13

Pada akhirnya, Edhi Sunarso harus melepaskan pengerjaan diorama tersebut dan memasrahkan kepada timnya karena Bung Karno memintanya membuat patung “Dirgantara” (tahun 1964) dan sang presiden ingin patung itu segera selesai.

Gambar 11. Edhi Sunarso di Depan Diorama yang Dulu Ia Kerjakan 36

Karya-karya Lainnya Selain patung-patung monumental dan diorama, Edhi Sunarso juga produktif dalam berkarya menciptakan patung-patung pribadi. Di antaranya sebagai berikut: 37

Gambar 12. Patung “Sulastri”, perunggu,

Gambar 13. Patung “Wajah Monumen

1963.

Pembebasan Irian Barat”, perunggu, 1963.

36 37

Di-capture dari film dokumenter Edhi Sunarso: Artist/Soldier. Diambil dari Katalog Pameran “Monumen”.

14

Gambar 14. Patung “Bersolek”, perunggu,

Gambar 15. Patung “Istirahat”, fiberglass,

1959.

1963.

Gambar 16. Patung “Adu Dialog

Gambar 17. Patung “Gadis”, resin, 2003.

Berdasarkan Pancasila dan Persatuan”, mixed media, 1998.

15

Gambar 18. Patung “Pijat di Pasar Senen”, perunggu, 1982.

Penutup Edhi Sunarso adalah sososk seniman yang sangat memegang apa yang sering dikatakan oleh Presiden Sukarno, national pride. Masa kecilnya yang dijalani dengan menjadi pasukan gerilya, bahkan memimpin pasukan sabotase di usia 14 tahun, membangun nasionalisme yang besar dalam dirinya. Ia adalah pengabdi, mengabdi dengan keikhlasan bagi bangsa dan negaranya. Pengabdiannya itu tetap menyala saat ia masuk dunia seni hingga menjadi seniman yang menggarap proyek-proyek mercusuar dari Presiden Sukarno. Ia rela menjaminkan rumahnya, hingga akhirnya disegel, untuk membeli bahan untuk pengerjaan patung “Dirgantara”. Padahal proyek-proyek yang dikerjakannya tanpa disertai kontrak perjanjian. Ia juga tetap setia mengerjakan diorama walaupun ia merasa jenuh karena tuntutan ketaatan pada sejarah meniadakan kebebasan berekspresi. Tentu saja, pengabdiannya tak akan sia-sia. Patung-patung monumentalnya hingga kini menjadi penanda kota yang menyajikan kebesaran bangsa. Edhi Sunarso juga telah meraih banyak penghargaan dan medali. Tahun 2003, ia dianugerahi Piagam Bintang Budaya Dharma dari pemerintah RI. Terakhir, tahun 2010, Senat ISI Yogyakarta mengangkatnya menjadi Empu Ageng. Maka sudah selayaknya Edhi Sunarso dikenal oleh masyarakat sebagai bagian dari sejarah bangsa.

16

Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Antariksa. 2008. “Antara Benteng Revolusi dan Laboratorium Barat: Posisi-posisi Politis dalam Senirupa Indonesia 1950-an” dalam Jurnal Wacana edisi 24. Yogyakarta: Insist Press. Diyanto. 2013. “Seni Lukis dan Obsesi Abadinya” dalam Sugiharto, Bambang (ed.), Untuk Apa Seni?. Bandung: Matahari. Pattiasina, Dianthus Lousia. 2014. “Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta” dalam Jurnal Widya volume 2 nomor 1. Jakarta: Kopertis Wilayah III. Wibowo, Pius Prio. 2013. “Patung dan Perkembangan Mutakhirnya” dalam Sugiharto, Bambang (ed.), Untuk Apa Seni?. Bandung: Matahari. Artikel Online Budi, Sulistyo. 2001. Edhi Sunarso, a Forgotten Sculptor of the Sukarno Era. http://www.thejakartapost.com/news/2001/07/01/edhi-sunarso-a-forgottensculptor-sukarno-era.html. Edhi Sunarso. http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/edhsu.html Kisah

Pematung

Pancoran,

Belajar

di

Bui,

Jadi

Mahasiswa

Gadungan.

http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pematung-pancoran-belajar-di-bui-jadimahasiswa-gadungan-pematung-edhi-sunarso-5.html. Pematung

Tugu

Pancoran,Usia

14

Tahun

Biasa

Sabotase

Tentara

NICA.

http://www.merdeka.com/peristiwa/pematung-tugu-pancoranusia-14-tahun-biasasabotase-tentara-nica-pematung-edhi-sunarso-3.html. Lain-lain Film Dokumenter Edhi Sunarso: Artist/Soldier. Dapat dilihat di https://www. youtube.com/watch?v=ACUhr4adZG8. Katalog

Pameran

“Monumen”.

Diunduh

dari

http://archive.ivaa-online.org/

files/uploads/texts/katalog_pameran_edhi_sunarso.pdf.

17



Deskripsi

EDHI SUNARSO Pengabdian Sang Gerilyawan dan Pematung Monumen oleh: Inamul Haqqi Hasan

Pendahuluan Patung, menurut Encyclopedia Britannica adalah the art of representing observed or imagined objects in solid materials and in three dimensions (seni yang menggambarkan objek hasil pengamatan atau imajinasi dalam bentuk material padat tiga dimensi). Patung merupakan salah satu bentuk seni tertua, artefaknya ditemukan di guagua prasejarah. 1 Di Indonesia, sebagai bangsa yang memiliki sejarah Hindhu dan Buddha, patung atau arca menjadi benda yang jamak ditemukan. Selain sebagai media ritual dan koleksi karya seni, patung dalam kehidupan kontemporer menjadi landmark suatu wilayah. Tentu masyarakat telah mengenal landmark berupa monumen yang terdapat di pusat kota Jakarta, tepatnya di Bundaran Hotel Indonesia, yaitu patung “Selamat Datang”. Pertanyaannya, seberapa gelintir masyarakat umum (selain masyarakat seni) yang mengenal siapakah pematungnya? Jangan-jangan, seperti dikatakan oleh Sulistyo Budi dalam judul artikelnya di The Jakarta Post: “a forgotten sculptor” 2. Adalah Edhi Sunarso, seniman yang bertanggung jawab pada tiga patung monumental di Jakarta, yaitu patung “Selamat Datang” di Bundaran HI, patung “Dirgantara” di Pancoran (juga dikenal dengan Tugu Pancoran), dan patung “Pembebasan Irian Barat” di Lapangan Banteng. Tentu saja, masih banyak karya-karya lain yang ia ciptakan, baik berupa patung koleksi pribadi maupun patung monumental. Makalah ini hendak mengangkat perjalanan hidup Edhi Sunarso dalam dinamika perkembangan seni rupa di Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan diawali dengan cerita tentang kehidupan awal Edhi Sunarso, perkenalannya dengan dunia seni dan Presiden Sukarno, pengaruh prinsip seni untuk rakyat pada idealisme berkesenian Edhi Sunarso, karya-karya pentingnya, dan terakhir kesimpulan.

1 2

Wibowo, 2013: 93 http://www.thejakartapost.com/news/2001/07/01/edhi-sunarso-a-forgotten-sculptor-sukarno-era.html

Gambar 1. Foto Edhi Sunarso 3 Edhi untuk Sunarso 4 Dilahirkan di Salatiga pada 2 Juli 1932, ia diberi nama Sunarso oleh keluarga Holan Atmojo yang mengangkatnya sebagai anak dari ayah kandungnya, Somo Sardjono. Holan Atmojo adalah seorang kepala Mantri Ukur Pertanahan Belanda, sehingga dengan jabatan orang tua angkatnya itu, Sunarso berkesempatan mendapatkan pendidikan. Saat usianya enam tahun (1939), ia masuk Vroobel School atau Taman Kanak-kanak di Gunungsari, Betawi 5. Segala fasilitas yang diterimanya sebagai anak angkat pegawai kantor Belanda tidak berlangsung lama. Tragedi jatuhnya pesawat Belanda di Kemayoran yang mengakibatkan kebakaran besar membuatnya terpisah dari keluarganya. Sunarso yang pada waktu itu berada di sekolah diungsikan oleh Hadiwidjaja yang merupakan guru di Vanlith School. Akhirnya, karena alasan keamanan Sunarso dibawa mengungsi ke Cikampek oleh keluarga Hadiwidjaja. Baru satu minggu di Cikampek, Sunarso dibawa ke Pegaden Baru karena rencana kedatangan Dai Nippon. Setelah meninggalnya Hadiwidjaja, Sunarso berkenalan dengan beberapa pejuang pro republik yang seringkali singgah di rumah Hadiwidjaja. Salah satunya adalah Komandan Soepriyatna yang kemudian memberikan tugas pada Sunarso untuk 3

Diunduh dari http://news.indonesiakreatif.net/wordpress/wp-content/uploads/2014/05/ 20140520_Edhi_Sunarso_5.jpg 4 Disarikan dari Edhi Sunarso (http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/edhsu.html), Pematung Tugu Pancoran, Usia 14 Tahun Biasa Sabotase Tentara NICA (http://www.merdeka .com/peristiwa/pematungtugu-pancoranusia-14-tahun-biasa-sabotase-tentara-nica-pematung-edhi-sunarso-3.html), dan Kisah Pematung Pancoran, Belajar di Bui, Jadi Mahasiswa Gadungan (http://www.merdeka.com/peristiwa/kisahpematung-pancoran-belajar-di-bui-jadi-mahasiswa-gadungan-pematung-edhi-sunarso-5.html). 5 Sekarang Gunung Sahari, Jakarta.

2

mengantarkan surat ke pos-pos penjagaan pro republik dengan menyamar sebagai anak sekolah. Dengan penyamarannya itu, ia sukses mengelabui tentara Belanda. Bahkan, Sunarso beberapa kali menumpang truk-truk Belanda untuk berkeliling ke desa-desa menyampaikan surat ke pos-pos pro republik. Pada usia 14 tahun (1946), Sunarso mempimpin 23 orang melakukan gerakan dan sabotase di daerah-daerah. Saat melakukan pencegatan patroli bersama dengan Mayor Soekirno di Cikuda, salah seorang anggota Mayor Soekirno, Edhi tertembak dan tewas di tempat. Wafatnya Edhi yang merupakan salah satu pejuang muda dan pemberani sekaligus keponakan dari Mayor Soekirno membuatnya terpukul. Untuk mengenangnya, Mayor Soekirno memberikan nama Edhi kepada Sunarso. Sejak saat itulah Sunarso dikenal dengan nama Edhi Sunarso. Namun, saat melakukan perjalanan pulang dari Cikuda, Edhi Sunarso ditangkap oleh NICA 6. Ia terpaksa menyerah karena sebagian dari anggotanya tertangkap oleh NICA saat melewati perkampungan yang dibakar oleh NICA. Sejak saat itu Edhi Sunarso meringkuk di penjara sebagai tahanan NICA. Setelah mengalami penyiksaan panjang dan beberapa kali pindah penjara, akhirnya Edhi Sunarso dipindahkan ke penjara Kebon Baru, Bandung. Kondisi penjara tersebut lebih manusiawi, tidak ada lagi penyiksaan oleh tentara KNIL 7 dan ukuran sel tahanan lebih besar. Di Kebon Baru ia mulai melukis dan membuat kerajinan tangan bersama dengan 2.400 tahanan lainnya. Semua peralatan menggambar seperti conte, krayon dan kertas bisa ia dapatkan di kantin. Barang-barang tersebut ia beli dengan uang saku bagi para tahanan sebesar 2 gulden yang diberikan setiap hari Sabtu. Pada Juli 1949, Edhi dibebaskan pada usia menjelang 17 tahun. Hari itu, ia memutuskan melakukan perjalanan ke Yogyakarta dengan berjalan kaki menyusul induk pasukan. Akan tetapi, setibanya di Yogyakarta ternyata induk pasukan telah melakukan long march ke Jawa Barat. Akhirnya ia melapor ke kantor KUDP (Kantor Urusan Demobilisasi Pejuang) agar terdaftar sebagai pejuang RI.

6

Nederlandsch Indië Civil Administratie, tentara sekutu yang bertugas mengontrol daerah Hindia Belanda setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada Perang Dunia II 7 het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).

3

Prestasi Internasional Si Seniman Tanpa Ijazah 8 Setiap hari, Edhi Sunarso melakukan perjalanan ke kantor KUDP Yogyakarta untuk apel sore. Dalam perjalanan itulah ia sering berpapasan dengan siswa-siswa ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) 9 yang sedang berpraktik melukis. Suatu ketika, Edhi tertarik mengikuti mereka saat sedang menggambar sambil ia juga ikut menggambar. Hingga akhirnya, Hendra Gunawan 10 selaku pengajar di ASRI menghampirinya dan menanyakan asal-usulnya. Atas bantuan Hendra Gunawan, Affandi, dan Katamsi, Edhi yang tak memiliki ijazah apapun diterima sebagai siswa toehorder 11 di ASRI. Kecintaan Edhi terhadap seni makin menguat. Ia pun diajak oleh Hendra Gunawan bergabung dengan Sanggar Pelukis Rakyat yang didirikannya. Di sana bakat Edhi semakin tampak cemerlang hingga dipercaya Hendra untuk turut serta dalam tim pembangunan Tugu Muda Semarang tahun 1952. Tak hanya di kancah nasional, pada tahun 1953 ia dan dua orang mahasiswa ASRI lainnya mengikuti kompetisi patung internasional di London. Namun, karena dua mahasiswa lainnya menggunakan tanah liat sebagai bahan patung, karya mereka rusak dalam perjalanan. Sehingga karya Edhi yang terbuat dari batu menjadi satu-satunya pantung yang berhasil sampai di London dalam keadaan utuh. Dalam kompetisi tersebut karya Edhi hanya mendapat peringkat ketujuh belas. Namun, setelah karya-karya peserta kompetisi dipamerkan secara terbuka, terjadi desakan dari publik untuk melakukan penjurian ulang tanpa mencantumkan nama dan asal negara peserta dalam karya. Dalam penjurian tersebut, karya Edhi yang berjudul "The Unknown Political Prisoner" mendapatkan posisi kedua dari 117 negara yang ikut serta dalam kompetisi. Edhi sendiri tidak mengetahui prestasi tersebut, justru Presiden Sukarno yang terlebih dulu mengetahuinya. Saat peresmian Tugu Muda Semarang, Bung Karno mendatangi dan menjabat tangan Edhi memberikan selamat. Tentu hal itu membuat Edhi bingung, hingga akhirnya ia membaca sebuah artikel dalam buletin Universitas Gadjah Mada yang ditulis oleh Dr. Sarjito menceritakan prestasinya mendapatkan juara dua dalam kompetisi Internasional. 8

Disarikan dari “Untuk Generasi Mendatang” dalam Katalog Pameran “Monumen”, Kisah Pematung Pancoran, Belajar di Bui, Jadi Mahasiswa Gadungan (http://www.merdeka.com/ peristiwa/kisah-pematungpancoran-belajar-di-bui-jadi-mahasiswa-gadungan-pematung-edhi-sunarso-5.html), dan film dokumenter Edhi Sunarso: Artist/Soldier. 9 Sekarang menjadi Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. 10 Mengenai sosok Hendra Gunawan akan diuraikan pada bahasan berikutnya. 11 Siswa toehorder atau siswa pendengar adalah siswa yang hanya boleh mengikuti kegiatan praktik tetapi tidak boleh mengikuti perkuliahan teori di kampus.

4

Tahun 1955, setelah selesai belajar di ASRI, Edhi mendapat kesempatan belajar seni di Visva Bharati Robindrannat Tagore University Santiniketan, India atas biaya UNESCO. Di India, ia belajar selama dua setengah tahun dan sempat meraih penghargaan dari Calcutta University dan penghargaan The Best Exhibit pada All India Fine Art and Exhibition. Sepulang dari India, Edhi mendapat tugas mengerjakan relief perjuangan untuk Museum Perjuangan Yogyakarta bersama Abdul Salam, Abdul Kadir, Subandrio, dan Sidharta dengan menggunakan batu cor 12. Edhi juga diminta mengajar di ASRI yang telah berganti nama menjadi STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) mengampu mata kuliah seni patung.

Bung Karno dan National Pride Perkenalan Edhi Sunarso dengan Presiden Sukarno merupakan titik paling penting dalam perjalanan kesenimanannya. Bung Karno berpandangan bahwa karakter dan identitas kota perlu dibangun, untuk membedakan dan menarik garis tegas masa lampau dan masa kini. Bukan hanya objek-objek fungsional yang berguna bagi orang banyak, tetapi juga penanda trimatra pengusung simbol kepahlawanan dan keagungan.13 Semangat “berdikari” Bung Karno pula lah yang mendorong Edhi menjadi pematung dengan karya-karya besar monumental. Bung Karno berprinsip agar pembangunan negara, termasuk pendirian monumen, harus dikerjakan oleh anak bangsa. Tahun 1958, menjelang pelaksanaan Asian Games IV di Jakarta yang akan diselenggarakan pada tahun 1962, Bung Karno memanggil Edhi ke Jakarta dan memintanya mengerjakan patung perunggu setinggi sembilan meter. Tentu permintaan itu mengejutkan Edhi, masalahnya ia belum pernah membuat patung dengan material perunggu. “Pak, jangankan sembilan meter, sembilan sentimeter pun saya belum pernah membuat patung perunggu. Bagaimana mungkin saya bisa melaksanakan pekerjaan ini?”, jawab Edhi dengan canggung. 14 Mendengar jawaban tersebut, Bung Karno dengan tegas berkata pada Edhi, “Hei, kau punya national pride ndak? Kau berani perang melawan Belanda, masak bikin patung saja ndak berani?” 15 Kebanggaan kebangsaan (national pride) memang lantang digaungkan oleh Bung Karno. Hal itu tergambarkan dalam salah satu pidatonya, “Saya

12

Merupakan relief pertama yang menggunakan batu cor. Hasan, 2010: 5. 14 Sunarso, 2010: 11. 15 Edhi Sunarso menirukan Presiden Sukarno dalam film dokumenter Edhi Sunarso: Artist/Soldier. 13

5

menghendaki juga agar supaya bintang-bintang di langit seribu tahun lagi, dua ribu tahun lagi, lima ribu tahun lagi, sepuluh ribu tahun lagi menyaksikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar.” 16 Pada saat pengerjaan patung “Dirgantara”, Bung Karno juga dengan geloranya memberi semangat pada Edhi Sunarso yang saat itu kesusahan menemukan ide bentuk patung. “Ed, kita ini tidak bisa membuat pesawat terbang, apalagi pesawat tempur. Tetapi waktu zaman revolusi kita tetap berani menerbangkannya. Jadi buatlah patung yang menonjolkan semangat keberanian itu. Apa yang kita punya? Kita punya semangat. Kita punya Gatutkaca!”, kata Bung Karno. 17

“Seni untuk Rakyat” dan Pengabdian Edhi Sunarso. Sebagaimana telah menjadi pemahaman umum, Raden Saleh Syarif Bastaman dianggap sebagai sosok yang menjadi tonggak awal seni rupa, khususnya lukis, modern Indonesia. Alasannya, ia adalah pelukis Indonesia pertama yang mempelajari teknik melukis gaya romantik di Eropa. Namun, permasalahannya adalah jarak antara Raden Saleh dengan generasi pelukis berikutnya terlalu jauh, dan tidak ada yang melanjutkan gaya romantiknya. 18 Adalah Sindudarsono Sudjojono, atau lebih dikenal dengan S. Sudjojono, yang kemudian dianggap sebagai pelopor kebangkitan seni lukis modern Indonesia. Sudjojono yang tergabung dalam PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) menentang seni lukis Mooi Indie, yaitu lukisan yang memperlihatkan sudut pandang orang asing yang terpesona atas keelokan pemandangan Indonesia. Bagi Sudjojono, lukisan seperti itu adalah persembunyian pelukis dari kenyataan yang dihadapi masyarakat. 19 Sudjojono memiliki prinsip bahwa seniman harus sadar politik dan seni harus diabdikan bagi perjuangan sosial-politik. Pandangan tersebut bisa jadi terbentuk dari kegemarannya membaca buku filsafat dan sastra Eropa, serta kekagumannya pada Picasso dan Diego Rivera. 20 Tahun 1946, Sudjojono bersama pelukis-pelukis seideologis lain, salah satunya Hendra Gunawan, mendirikan SIM (Seniman Indonesia Muda). SIM inilah yang menjadi embrio lahirnya gerakan kesenian terbesar di tahun 1960-an, LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

16

Dikutip dari Hasan, 2010: 5. Dikutip dari Antariksa, 2008: 44. 18 Diyanto, 2013: 77. 19 Ibid 20 Antariksa, 2008: 46. 17

6

Hendra Gunawan sendiri nantinya keluar dari SIM karena tidak sepaham dengan Sudjojono soal pembagian subsidi dari pemerintah. 21 Ia kemudian mendirikan Sanggar Pelukis Rakyat yang nantinya Edhi Sunarso bergabung di sana. Hendra Gunawan inilah yang dianggap sebagai tokoh pelopor seni patung modern Indonesia. Bersama Sanggar Pelukis Rakyat, ia memahat batu-batu di sungai Kaliurang dengan teknik-teknik yang dipelajari dari buku-buku dari Barat. Namun, baik SIM maupun Sanggar Pelukis Rakyat yang sama-sama bermarkas di Yogyakarta tetap memegang idealisme “seni untuk rakyat” 22 sebagaimana pandangan Sudjojono di atas. Idealisme tersebut juga dibawa ke pengajaran di ASRI di mana Sudjojono dan Hendra Gunawan sama-sama menjadi pengajar. Konsep “seni untuk rakyat” ini tentu saja sangat cocok dengan latar belakang Edhi Sunarso sebagai seorang pejuang. Maka tak heran jika ia menganggap segala kerja seninya merupakan pengabdian. “Memvisualkan peristiwa sejarah itu adalah sebuah pengabdian”, kata Edhi. Dalam benaknya telah dicamkan dalam-dalam pesan Bung Karno, “bukan untuk aku, bukan untuk para sejarawan, tapi untuk bangsa!”

Tiga Monumen Melanjutkan cerita pembangunan patung “Selamat Datang” di atas, setelah dikobarkan keyakinannya oleh Bung Karno, Edhi pun kembali ke Yogyakarta. Tetap saja, ia menyimpan perasaan panik dan cemas, kalau-kalau benar-benar tidak sanggup melaksanakan keinginan Bung Karno. Sampai di Yogyakarta, orang pertama yang ia temui adalah Gardono, seorang teman lama. Gardono adalah orang yang senang melakukan eksperimen sehingga ia berharap menemukan pemecahan masalah yang ia hadapi. Edhi dan Gardono kemudian menemui Pak Mangun dan Pak Darmo, dua orang pensiunan bengkel Pengok, sebuah bengkel kereta api di Yogyakarta. Sayangnya, ternyata mereka juga tidak pernah mengecor perunggu. Edhi dan Gardono mendesak dan meyakinkan bahwa teknik pengecoran perunggu dapat dipelajari dari buku. Akhirnya kedua orang itu menyanggupi. Selanjutnya mereka menghubungi beberapa toko bahan dan beberapa orang yang sekiranya siap meminjamkan alat. 21

Ibid Paham ini adalah lawan dari “seni untuk seni” yang menekankan pada pencapaian estetik dan kebebasan ekspresi individu. Dalam dinamika seni rupa Indonesia modern, paham “seni untuk seni” diidentikkan dengan “aliran Bandung”, karena pengajar-pengajar dari Barat di Departemen Arsitektur dan Seni Rupa Intitut Teknologi Bandung (ITB) lebih menekankan pada metode dan teori estetika. Sedangkan paham “seni untuk rakyat” diidentikkan dengan “aliran Yogyakarta” karena menjadi idealisme berkesenian di SIM, Sanggar Pelukis Rakyat, dan juga pengajaran di ASRI yang mempengaruhi siswa dengan sikap-sikap politik. 22

7

Setelah sampai batas waktu yang diminta oleh Bung Karno dan semua telah siap, Edhi kembali ke Jakarta untuk menemui Bung Karno dan menyatakan sanggup melaksanakan pembuatan patung “Selamat Datang”. Pekerjaan pun dimulai. Edhi dan timnya mengerjakan model patung setinggi sembilan meter dengan menggunakan 15 ton gipsum. Setelah selesai pembuatan model, tim peninjau dari panitia pembangunan monumen, para duta besar, termasuk Bung Karno sendiri berkunjung ke bengkelnya. Saat itulah, Edhi memberanikan diri mengemukakan pendapatnya bahwa patung tersebut terlalu besar untuk ukuran kawasan bundaran Hotel Indonesia. Bung Karno pun menjawab, “Kamu aneh sekali, Dhi. Patung sudah jadi sembilan meter, masak mau dikecilkan lagi?” Lalu Bung Karno meminta pendapat Ir. Sutami yang pada saat itu ikut dalam rombongan, Sutami pun mendukung pendapat Edhi. Akhirnya, patung dibuat setinggi enam meter seperti yang dapat kita lihat saat ini. 23

Gambar 2. Patung “Selamat Datang” dari Jarak Dekat. 24

23

Disarikan dari Sunarso, 2010: 12 Diunduh dari http://www.jakarta.go.id/web/system/jakarta2011/public/img/photo_event/selamat_datang_9_16692_201204 0191556_udin.JPG 24

8

Gambar 3. Patung “Selamat Datang” dari Jarak Jauh. 25

Gambar 4. Patung “Selamat Datang” Tahun 1962. 26

Patung “Selamat Datang” menampilkan dua figur laki-laki dan perempuan dengan posisi berdiri berdampingan. Ditempatkan di atas pedestal berbentuk dua tiang kaki dengan ketinggian 20 meter yang terletak tepat di tengah-tengah bundaran HI. Tampak ekspresi wajah kedua figur menunjukkan mimik muka berseri. Tangan kanan keduanya terangkat ke atas seolah melambai untuk menyambut, sedangkan tangan kiri sosok perempuan menggenggam seikat bunga. Sosok laki-laki dan perempuan hadir sebagai ungkapan keramahtamahan, kesejajaran laki-laki dan perempuan mewakili citra bangsa yang beradab. 27 25

Diunduh dari https://www.google.com/search?q=edhi+sunarso&es_sm=93&source=lnms&tbm= isch&sa=X&ei=lRRhVIqDIaeSmwWR2IC4BA&ved=0CAgQ_AUoAQ&biw=1600&bih=756#tbm=isch&q= patung+selamat+datang 26 Disalin dari Katalog Pameran “Monumen” 27 Pattiasina, 2014: 57.

9

Selesai patung “Selamat Datang”, Presiden Sukarno kembali meminta Edhi untuk mengerjakan patung “Pembebasan Irian Barat” di Lapangan Banteng. Gagasan pembangunan patung untuk memperingati perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda tersebut dicetuskan oleh Soekarno dalam pidatonya di Yogyakarta pada pertengahan tahun 1962, saat mencanangkan TRIKORA (Tiga Komando Rakyat).

Gambar 5. Patung “Pembebasan Irian Barat” dari Jarak Dekat. 28

Gambar 6. Patung “Pembebasan Irian Barat” dari Jarak Jauh. 29

28

Diunduh dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/fd/Irian_Barat_Statue.JPG

10

Gambar 7. Peresmian Patung “Pembebasan Irian Barat” oleh Presiden Sukarno Tahun 1962. 30

Tahun 1964, Edhi kembali mendapat tugas dari Bung Karno untuk membuat monumen “Dirgantara” demi mengenang sifat kepahlawanan para pejuang Indonesia bidang kedirgantaraan. Seperti dua patung sebelumnya, ide dasar penciptaan patung “Dirgantara” datang dari Bung Karno sendiri. Seperti telah diceritakan di pembahasan sebelumnya, Bung Karno menyebut “Kita punya Gatutkaca!” lalu berpose seperti Gatutkaca dan meminta Edhi membuat sketnya. “Cepat Ed! Segera kau buat sketnya! Seperti ini! Seperti ini!”, tegas Bung Karno. Di tengah perjalanan, pengerjaan patung “Dirgantara” sempat terhenti karena Edhi Sunarso kehabisan uang dan sakitnya Bung Karno. Dengan terbaring lemah dan wajah pucat, Bung Karno bertanya,“Edhi, apa patung “Dirgantara” sudah selesai kau kerjakan?” Edhi menjawab, “Sudah Pak.” “Lalu mengapa tidak segera kau pasang?” “Saya tidak punya biaya lagi, Pak. Bahkan saya terbelit banyak utang bahan dengan beberapa orang. Rumah saya pun sudah disegel karena menjadi agunan saya untuk meminjam bahan. Maaf Pak saya lancang, tapi begitulah kondisinya.” 31 Bung Karno kemudian menjual salah satu mobilnya untuk membiayai proyek patung “Dirgantara”. Dari hasil penjualan mobil itu, bagian-bagian patung dapat diangkut dari Yogyakarta ke Jakarta dan dimulai pemasangannya. Menjelang finishing, Edhi menerima kabar berpulangnya Bung Karno. Maka, monumen “Dirgantara” adalah monumen yang tidak pernah terbayar lunas dan tidak pernah diresmikan. 29

Diunduh dari http://3.bp.blogspot.com/-cNxHAeJAbjE/UbX0D8EggVI/AAAAAAAAAj4/ q2nEYjYc0vc/s1600/1A19DC546BE4ED5B4177DE64D19B0.jpg 30 Disalin dari Katalog Pameran “Monumen” 31 Dikutip dari Sunarso, 2010: 16

11

Gambar 8. Patung “Dirgantara” dari Jarak Dekat. 32

Gambar 9. Patung “Dirgantara” dari Jarak Jauh. 33

Gambar 10. Proses Pengerjaan Patung “Dirgantara” Tahun 1966. 34 32

Diunduh dari http://1.bp.blogspot.com/-fqTnxwbwKl8/UxmX3JlA8vI/AAAAAAAAACE/ ZFCZsE73MhY/s1600/patung+pancoran+01.jpg 33 Diunduh dari https://ariesaksono.files.wordpress.com/2008/03/dscf51432-copy.jpg

12

Diorama 35 Bersamaan dengan proses pembuatan patung “Pembebasan Irian Barat”, Bung Karno mengirim delegasi seniman berjumlah 18 orang dari Indonesia yang dipimpin oleh Saptoto dan Haryadi untuk belajar membuat diorama ke Jepang, Belanda, dan beberapa negara lain yang mempunyai museum diorama. Pengiriman delegasi tersebut untuk mewujudkan keinginan menciptakan diorama sejarah di Museum Nasional. Tepat tiga hari setelah peresmian patung “Pembebasan Irian Barat”, kedelapan belas seniman yang dikirim Bung Karno telah kembali ke Indonesia dan kemudian membuat contoh yang dipresentasikan kepada Bung Karno. Ternyata, contoh diorama tersebut ditolak oleh Bung Karno dan sejarawan yang hadir pada saat itu dengan berbagai alasan, salah satuya karena contoh yang dibuat tidak menggambarkan gerak atau episode perjuangan. Dua minggu kemudian, Edhi dipanggil oleh Bung Karno dan memutuskan ia sebagai pelaksana pembuatan diorama dengan diberi empat jilid buku sejarah yang telah disusun oleh 23 orang sejarawan senior yang tergabung dalam tim sejarawan. Lagi-lagi, Edhi terkejut dan merasa mustahil melaksanakannya. Kali ini bukan saja karena ia tidak pernah membuat diorama, tetapi ia bahkan tidak pernah melihat seperti apa itu diorama. Kembali lagi, Bung Karno mendesaknya dengan mengatakan, “Apa kamu nggak malu kalau untuk diorama sejarah kita, aku suruh Madame Tussaud mengerjakan?” Mengerjakan diorama adalah pekerjaan yang sangat rumit, ada banyak tahap yang harus dilalui dengan melibatkan banyak seniman, bukan hanya pematung tetapi juga perupa lainnya. Edhi juga harus taat pada sejarah dan memvisualisasikan potongan adegannya dalam bentuk realistik, maka ia juga harus melakukan penelitian langsung untuk memiliki gambaran atas situasi dan bentuk tempat kejadian yang sebenarnya. Edhi mengakui, sebagai seorang seniman, terkadang ia merasa jenuh dengan pekerjaan diorama tersebut. Bukan hanya waktu pengerjaan yang sangat lama, tetapi juga kebebasan berekspresi ikut terkekang. Akan tetapi, semangatnya terus disulut oleh kesadaran bahwa diorama yang ia kerjakan tersebut adalah untuk generasi mendatang agar memiliki pengetahuan mengenai sejarah. Bung Karno pernah berkata kepada Edhi bahwa beliau menunjuknya bukan karena ia dianggap mampu melakukan pekerjaan itu, tetapi pengerjaan itu membutuhkan sikap pengabdian yang tinggi terhadap bangsa. Menurut Bung Karno, Edhi mampu karena memiliki jiwa pengabdian itu. 34 35

Disalin dari Katalog Pameran “Monumen” Disarikan dari Sunarso, 2010: 13-15.

13

Pada akhirnya, Edhi Sunarso harus melepaskan pengerjaan diorama tersebut dan memasrahkan kepada timnya karena Bung Karno memintanya membuat patung “Dirgantara” (tahun 1964) dan sang presiden ingin patung itu segera selesai.

Gambar 11. Edhi Sunarso di Depan Diorama yang Dulu Ia Kerjakan 36

Karya-karya Lainnya Selain patung-patung monumental dan diorama, Edhi Sunarso juga produktif dalam berkarya menciptakan patung-patung pribadi. Di antaranya sebagai berikut: 37

Gambar 12. Patung “Sulastri”, perunggu,

Gambar 13. Patung “Wajah Monumen

1963.

Pembebasan Irian Barat”, perunggu, 1963.

36 37

Di-capture dari film dokumenter Edhi Sunarso: Artist/Soldier. Diambil dari Katalog Pameran “Monumen”.

14

Gambar 14. Patung “Bersolek”, perunggu,

Gambar 15. Patung “Istirahat”, fiberglass,

1959.

1963.

Gambar 16. Patung “Adu Dialog

Gambar 17. Patung “Gadis”, resin, 2003.

Berdasarkan Pancasila dan Persatuan”, mixed media, 1998.

15

Gambar 18. Patung “Pijat di Pasar Senen”, perunggu, 1982.

Penutup Edhi Sunarso adalah sososk seniman yang sangat memegang apa yang sering dikatakan oleh Presiden Sukarno, national pride. Masa kecilnya yang dijalani dengan menjadi pasukan gerilya, bahkan memimpin pasukan sabotase di usia 14 tahun, membangun nasionalisme yang besar dalam dirinya. Ia adalah pengabdi, mengabdi dengan keikhlasan bagi bangsa dan negaranya. Pengabdiannya itu tetap menyala saat ia masuk dunia seni hingga menjadi seniman yang menggarap proyek-proyek mercusuar dari Presiden Sukarno. Ia rela menjaminkan rumahnya, hingga akhirnya disegel, untuk membeli bahan untuk pengerjaan patung “Dirgantara”. Padahal proyek-proyek yang dikerjakannya tanpa disertai kontrak perjanjian. Ia juga tetap setia mengerjakan diorama walaupun ia merasa jenuh karena tuntutan ketaatan pada sejarah meniadakan kebebasan berekspresi. Tentu saja, pengabdiannya tak akan sia-sia. Patung-patung monumentalnya hingga kini menjadi penanda kota yang menyajikan kebesaran bangsa. Edhi Sunarso juga telah meraih banyak penghargaan dan medali. Tahun 2003, ia dianugerahi Piagam Bintang Budaya Dharma dari pemerintah RI. Terakhir, tahun 2010, Senat ISI Yogyakarta mengangkatnya menjadi Empu Ageng. Maka sudah selayaknya Edhi Sunarso dikenal oleh masyarakat sebagai bagian dari sejarah bangsa.

16

Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Antariksa. 2008. “Antara Benteng Revolusi dan Laboratorium Barat: Posisi-posisi Politis dalam Senirupa Indonesia 1950-an” dalam Jurnal Wacana edisi 24. Yogyakarta: Insist Press. Diyanto. 2013. “Seni Lukis dan Obsesi Abadinya” dalam Sugiharto, Bambang (ed.), Untuk Apa Seni?. Bandung: Matahari. Pattiasina, Dianthus Lousia. 2014. “Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta” dalam Jurnal Widya volume 2 nomor 1. Jakarta: Kopertis Wilayah III. Wibowo, Pius Prio. 2013. “Patung dan Perkembangan Mutakhirnya” dalam Sugiharto, Bambang (ed.), Untuk Apa Seni?. Bandung: Matahari. Artikel Online Budi, Sulistyo. 2001. Edhi Sunarso, a Forgotten Sculptor of the Sukarno Era. http://www.thejakartapost.com/news/2001/07/01/edhi-sunarso-a-forgottensculptor-sukarno-era.html. Edhi Sunarso. http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/edhsu.html Kisah

Pematung

Pancoran,

Belajar

di

Bui,

Jadi

Mahasiswa

Gadungan.

http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pematung-pancoran-belajar-di-bui-jadimahasiswa-gadungan-pematung-edhi-sunarso-5.html. Pematung

Tugu

Pancoran,Usia

14

Tahun

Biasa

Sabotase

Tentara

NICA.

http://www.merdeka.com/peristiwa/pematung-tugu-pancoranusia-14-tahun-biasasabotase-tentara-nica-pematung-edhi-sunarso-3.html. Lain-lain Film Dokumenter Edhi Sunarso: Artist/Soldier. Dapat dilihat di https://www. youtube.com/watch?v=ACUhr4adZG8. Katalog

Pameran

“Monumen”.

Diunduh

dari

http://archive.ivaa-online.org/

files/uploads/texts/katalog_pameran_edhi_sunarso.pdf.

17

Lihat lebih banyak...

Komentar

Hak Cipta © 2017 CARIDOKUMEN Inc.