Membaca Ulang Perspekif Budaya Organisasi dan Teori Manajemen Simbolik
December 15, 2017 | Author: Masduki Mulyono | Category: N/A
Deskripsi Singkat
Membaca Ulang "Perspekif Budaya Organisasi dan Teori Manajemen Simbolik": Belajar dari Jepang
Oleh Masduki
Judul Buku : Organization Theory and Public Management
Judul Chapter 15 : The Organizational Culture Perspective and
SymbolicManagement Theory
Tebal Buku : XV + 402 halaman
Penyusun Buku : Jonathan R. Tompkins , University of Montana
Tahun Terbit : 2005
Perkembangan organisasi selalu berbanding lurus dengan perkmbangan teori yang meliputinya. Perkembangan ini senantiasa memunculkan perspektif baru untuk melihat organisasi dengan apa yang ada didalamnya. Kemunculan perspektif budaya organisasi dan teoru manajemen simbolik menjadi salah satu contoh nyata dari perkembangan ini. Tulisan yang akan anda baca ini akan menjelaskan tentang hal tersebut –perspektif budaya organisasi dan teori manajemen simbolik- yang disarikan ulang dari buku Organization Theory and Publik Manajement.
Perspektif Budsya Organisasi muncul diawali dengan pertemuan sekelompok akademisi pada akhir tahun 1970-an yang gelisah dengan penjabaran organisasi sebagai sesuatu hal yang sedrhana sehingga dapat disamakan layaknya mesin melainkan sebagai sebuah sistem manusia yang merupakan pola kompleks dari aktifitas secara kultural. Perspektif ini melahirkan cara pandang baru yang lebih melihat pada sisi simbol-simbol organisasi, termasuk yang terefleksikan dalam bahasa, metafor objek dan ritual dari keseharian organisasi.
Perkembangan perspektif ini tidak lepas dari pengaruh studi Antropologi. Organisasi dipandang sebagai sebuah keluarga atau kelompok yang mengikat kebersamaan dengan pembagian nilai dan kepercayaan. Nilai dan kepercayaan tersebut terus dibangun sepanjang waktu selama organisasi berjuang untuk mengatasi masalah-masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal. Terkadang anggota organisasi memasukan berbagai budaya dari pendiri organisasi atau dari pemimipinnya. Dilain sisi, mereka memasukan sebuah budaya secara tidak sadar dari cara mereka belajar menanggulangi tiap masalah yang ada. Pembagian nilai dan kepercayaan dalam organisasi berhubungan dengan cara anggota melihat dirinya sendiri dari perspektif organisasi, apa yang mereka anggap penting, cara mereka melakukan sesuatu, serta cara memperlakukan orang lain, dan apa yang mereka harapkan untuk dipenuhi.
Sepanjang waktu, nilai dan kepercayaan tersebut mewujud sebagai mitos dan ritual-ritual yang menyediakan transformasi dan internalisasi nilai dan kepercayaan dari satu generasi ke genarasi selanjutnya. Saat nilai dan kepercayaan tersebut benar-benar menjadi budaya dominan, maka akan menjadi panduan dalam pembuatan keputusan sehari-hari oleh anggota organisasi serta menjadi perekat yang menyatukan organisasi. Budaya dominan secara serempak bertindak sebagai alat untuk menyelaraskan dengan melakukan pendefinisian premis-premis dari nilai yang memandu keputusan sehari-hari dan sebagai mekanisme kontrol dengan menetapkan sanksi terhadap budaya atau norma yang melanggar dari budaya dominan.
Pada perkembangannya, budaya organisasi menjadi objek kajian yang menarik banyak pihak, namun sayangnya belum ada kerangka konseptual yang baku untuk dijadikan patokan. Srimgkali kata budaya organisasi dimaknai secara berbeda-beda dan bahkan berlawanana, oleh sebab itu Edgar H.Schein –seorang psikologi sosial, mencoba membangun kerangka konseptual terebut. Schein mengungkapkan bahwa budaya organisasi tidak hanya merupakan seperangkat nilai dan norma yang ditentukan oleh seorang manajer pada bawahannya, tetapi merupakan sesuatu yang dibangun dan terus berjalan secara organic sepanjang waktu, sesuatu yang menjadi dasar bagi organisasi dalam menciptakan stabilitas structural dan integrasi norma serta nilai kedalam pola yang mampu diteliti dan sesuatu yang tumbuh dari pengalaman sebuah kelompok dalam mengatasi permasalahan universal secara kumulatif. Dengan kata lain budaya sebuah kelompok merupakan pola dari pembagian asumsi dasar yang mana sebuah kelompok terus belajar untuk mengatasi beragam masalah.
Schein membagi pemahaman tentang budaya menjadi dalam tiga tingkatan yang saling tergubung. Pertama adalah Artifacts, yaitu apa yang terindara, sebagai contoh lingkungan fisik sebuah organisasi, bahasa sehari-hari, cara rapat, misi dan nilai filosofis organisasi, sistem status, dan juga mitos, ritual, cerita, yang mana asumsi pokok dan dasar nilai organisasi mampu ditransmisikan serta diperkuat. Kedua adalah Espaused Values, merupakan nilai yang mana anggota organisasi menyatakan untuk berkomitmen. Nilai tersebut berada di tingkat tengah dan tidak mampu terindera. Tak jarang termanifestasikan sebagai tujuan, strategi, filosofi serta capaian organisasi, nilai ini memandu pilihan-pilihan yang diambil oleh organisasi untuk dipenuhi dan dicapai. Dan yang terakhir adalah Basic Assumptions, adalah hal yang mendasari tingkatan budaya organisasi yang memberitahu anggota pada tingkatan bawah sadar, bagaimana berpikir dan mmerasakan sesuatu dan tindakan apa yang diambil dalam berbagai situasi.
Teori Z dari William Ouchi
William Ouchi telah melakukan analisa komparasi antara perusahaan Jepang dengan perusahaan Amerika, dimana perusahaan Jepang dinilai lebih berhasil jika dibandingkan dengan perusahaan Amerika. Ouchi menyimpulkan bahwa kunci perbedaan bukanlah berada dalam struktur, strategi atau teknologi tetapi dari seluk beluk manajemen Jepang. Berikut ini perbedannya :
Perusahaan Jepang
Perusahaan Amerika
Pegawai seumur hidup
Pegawai berjangka waktu pendek
Promosi dan evaluasi yang perlahan
Promosi dan evaluasi yg melacu kencang
Jalur kariri tidak terspesialisasi
Jalur karir yang terspesialisasi
Mekanisme kontrol yang implisit
Mekanisme kontrol yang eksplisit
Pembuatan keputusan kolektif
Pembuatan keputusan individual
Tanggung jawab kolektif
Tanggung jawab individual
Fokus pada kesluruhan
Fokus tersegmentasi
Ada perbedaan yang cukup signifikan antara budaya Jepang dengan Amerika yang lebih membedakan dengan tegas antara dunia kerja dengan dunia individu, sedangkan di Jepang manusia dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa pembedaan. Paham nasionalisme yang kuat berpengaruh pada perhatian perusahaan yang holistik –menyeluruh dan utuh, terhadap para pekerja, semisal dengan menjanjikan pekerjaan seumur hidup yang akan ditukar dengan loyatitas penuh.Tanggung jawab secara kolektif melatih indivudu untuk memementingkan kepentingan kelompok dari pada kepentingan indivudu, menyamarkan posisi dan kedudukan dan mementingkan kebersamaan.
Budaya organisasi yang unik dari Jepang pada akhirnya melahirkan sebuah sistem yang bernuansa kekeluargaan, Ouchi menyebutnya sebagai organisasi klan. Dalam organisasi klan ini setiap orang menjadi bagian dari perluasan keluarga, diikat bersama dalam kedekatan dan kepercayaan melalui ikatan yang saling menguntungkan dari pertalian kekeluargaan. Fungsi dari klan adalah melakukan proses sosialisasi terhadap anggota pada nilai dan norma dari budaya dominan. Hal tersebut memfasilitasi integrasi dari tujuan individu dan tujuan organisasi, menciptakan kekuatan komunal, dan memotivasi setiap anggota untuk berperan dalam organisasi. Ouchi menyebutkan bahwa organisasi klan ini sangat berbeda jauh dengan organisasi yang birokratis, jika organisasi birokratis menekankan pada perintah yang hirarkis sedangkan klan membuka peluang untuk memanfaatkan diskrsi dengan pembagian nilai.
Pada perkembangannya, Ouchi menamai perusahaan yang menjalankan tipe organisasi klan dengan nama organisasi tipe Z. Masih menurut Ouchi teori Z mendorong manajer untuk memapankan budaya organisasi sebagai dasar dengan sedikit hierarki dan lebih membangun organisasi yang humanis. Keberhasilan dari teori Z tergantung pada prakondisinya, seperti rendahnya perpindahan pekerja.
Ouchi juga menekankan organisasi tipe Z cenderung mendapat kepastian dari potensial meniadakan kelemahan. Sebagai contoh, karena organisasi tipe Z sangat homogeny dengan penghargaan nilai dan kepercayaan, mereka memusuhi individu yang memiliki pandangan menyimpang, termasuk mereka yang menjadi bagian penting bagi adaptasi dan ketahanan organisasi. Tak hanya itu, mereka cenderung mendiskriminasikan pekerja yang memiliki perbedaan budaya, seperti perempuan dan minoritas. Dan karena budaya sangat sulit untuk diubah, organisasi tipe Z sering tidak mampu bereaksi secara cepat merespon perubahan lingkungan.
Seni Manajemen Jepang dari Pascale dan Athos
Sebuah sejarah pada akhit tahun 1970-an menjelaskan bahwa McKinsey & Company meminta bantuan pada dua akademisi, Pascale dari Stanford dan Athos dari Harvard untuk membangun kerngka konseptual untuk mengidentifikasi faktor penentu kinerja organisasi. Dengan asistensi dari dua akdemisi ini, McKinsey menemukan 7 faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi yang disebut dengan 7S, yaitu, development [S]trategies, Decentralized and division based [S]tructure, Centralized reporting, accounting and personnel [S]ystems, Respectful management [S]tyle, [S]taff development program on job rotation and mentoring, People [S]killdan [S]hared values.
Perumusan 7S dapat kita kategorikan kedalam dua bagian, tiga variabel pertama, dapat dilihat sebagai perangkat keras karena ketiganya mampu terindera dan mampu dianalisa secara rasional, sementara lima variabel lainnya adalah perangkat lunak karena banyak hal yang samar dan kurang mampu dipertanggungjawabkan dalam analisa rasional dan perencanaan sistematis. Tesis utama dari The Art of Japanese Management adalah apa yang menjadi perangkat keras bagi kebanyakan manajer di Amerika, yakni strategi, struktur dan sistem yang kosekuensinya akan mengurangi efektivitas organisasi mereka. Untuk mengoptimalkan kinerja organisasi, manajer harus mengejar 7S dalam keseimbangan, kesesuaian yang terintegrasi, dengan pembagian nilai yang memberikan kunci keberhasilan integrasi.
Beberapa Kritik
Penyegaran perspektif budaya organisasi dan teori manajemen simbolik tidaklah berjalan dengan mulus, kehadiranya menuai kritik. Setidaknya ada empat kritik yang dapat kita pahami dengan mudah. Kritik pertama adalah fakta bahwa hanya sedikit ada bukti nyata yang mendukung teori mengenai hubungan budaya dan pembagian nilai dengan keberhasilan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ouchi dan Jonshon belum mewakili ketercukupan sampel karena baru dilakukan pada perusahaan yang memiliki reputasi, namun belum pada perusahaan pemula.
Kritik kedua menyebutkan bahwa "formula" yang ditawarkan melalui penguatan budaya orgnisasi yang diharapkan akan menghasilkan kinerja yang baik tidaklah benar seutuhnya. Seringkali ada faktor lain yang lebih dominan misalnya faktor kondisi ekonomi. Kritik yang ketiga adalah gambaran budaya organisasi dibentuk dalam hal yang terlalu sederhana, dapat diciptakan dan dikontrol oleh manajer, padahal pada kenyataannya budaya organisasi tersusun dari pertautan beragam budaya, dan tak jarang mengalami konflik antar subkultur. Kritik terakhir adalah bahwa manajemen simbolik merepresentasikan premis ideologi manajemen yang elitis, paternalistik dan tidak beretika dalam memanipulasi simbol dan mencuci otak dari para pekerja hingga mereka mampu mengadopsi nilai dan kepercayaan yang berlawanan atau berlainan.
Beberapa kritik ini menjadi bukti bahwa hipotesa keterhubungan antara budaya yang kuat dengan keberhasilan organisasi belum kunjung terbukti dan teori manajemen simbolik memiliki kecenderungan terlalu optimis mengenai kemampuan manajer untuk membentuk budaya organisasi dan menggunakan hal tersebut untuk mencapai tujuan dari manajer. Namun terlepas dari itu semua, perkembangan literatur ini memberikan perspektif yang baru dan bernilai untuk mengerti perilaku organisasi, hal tersebut menawarkan teori mengenai kinerja organisasi yang mungkin untuk diverifikasi dan dengan menghadirkan kata misi, visi, nilai an hasrat memberikan fokus baru bagi kepemimpinan institusional.
Ditulis sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah Teori Organisasis dan Manajemen Publik, Magister Ilmu Administrasi Univesitas Jendral Soedirman.
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Administrasi, Universitas Jenderal Soedirman, NIM P2FB12014.
Deskripsi
Membaca Ulang "Perspekif Budaya Organisasi dan Teori Manajemen Simbolik": Belajar dari Jepang
Oleh Masduki
Judul Buku : Organization Theory and Public Management
Judul Chapter 15 : The Organizational Culture Perspective and
SymbolicManagement Theory
Tebal Buku : XV + 402 halaman
Penyusun Buku : Jonathan R. Tompkins , University of Montana
Tahun Terbit : 2005
Perkembangan organisasi selalu berbanding lurus dengan perkmbangan teori yang meliputinya. Perkembangan ini senantiasa memunculkan perspektif baru untuk melihat organisasi dengan apa yang ada didalamnya. Kemunculan perspektif budaya organisasi dan teoru manajemen simbolik menjadi salah satu contoh nyata dari perkembangan ini. Tulisan yang akan anda baca ini akan menjelaskan tentang hal tersebut –perspektif budaya organisasi dan teori manajemen simbolik- yang disarikan ulang dari buku Organization Theory and Publik Manajement.
Perspektif Budsya Organisasi muncul diawali dengan pertemuan sekelompok akademisi pada akhir tahun 1970-an yang gelisah dengan penjabaran organisasi sebagai sesuatu hal yang sedrhana sehingga dapat disamakan layaknya mesin melainkan sebagai sebuah sistem manusia yang merupakan pola kompleks dari aktifitas secara kultural. Perspektif ini melahirkan cara pandang baru yang lebih melihat pada sisi simbol-simbol organisasi, termasuk yang terefleksikan dalam bahasa, metafor objek dan ritual dari keseharian organisasi.
Perkembangan perspektif ini tidak lepas dari pengaruh studi Antropologi. Organisasi dipandang sebagai sebuah keluarga atau kelompok yang mengikat kebersamaan dengan pembagian nilai dan kepercayaan. Nilai dan kepercayaan tersebut terus dibangun sepanjang waktu selama organisasi berjuang untuk mengatasi masalah-masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal. Terkadang anggota organisasi memasukan berbagai budaya dari pendiri organisasi atau dari pemimipinnya. Dilain sisi, mereka memasukan sebuah budaya secara tidak sadar dari cara mereka belajar menanggulangi tiap masalah yang ada. Pembagian nilai dan kepercayaan dalam organisasi berhubungan dengan cara anggota melihat dirinya sendiri dari perspektif organisasi, apa yang mereka anggap penting, cara mereka melakukan sesuatu, serta cara memperlakukan orang lain, dan apa yang mereka harapkan untuk dipenuhi.
Sepanjang waktu, nilai dan kepercayaan tersebut mewujud sebagai mitos dan ritual-ritual yang menyediakan transformasi dan internalisasi nilai dan kepercayaan dari satu generasi ke genarasi selanjutnya. Saat nilai dan kepercayaan tersebut benar-benar menjadi budaya dominan, maka akan menjadi panduan dalam pembuatan keputusan sehari-hari oleh anggota organisasi serta menjadi perekat yang menyatukan organisasi. Budaya dominan secara serempak bertindak sebagai alat untuk menyelaraskan dengan melakukan pendefinisian premis-premis dari nilai yang memandu keputusan sehari-hari dan sebagai mekanisme kontrol dengan menetapkan sanksi terhadap budaya atau norma yang melanggar dari budaya dominan.
Pada perkembangannya, budaya organisasi menjadi objek kajian yang menarik banyak pihak, namun sayangnya belum ada kerangka konseptual yang baku untuk dijadikan patokan. Srimgkali kata budaya organisasi dimaknai secara berbeda-beda dan bahkan berlawanana, oleh sebab itu Edgar H.Schein –seorang psikologi sosial, mencoba membangun kerangka konseptual terebut. Schein mengungkapkan bahwa budaya organisasi tidak hanya merupakan seperangkat nilai dan norma yang ditentukan oleh seorang manajer pada bawahannya, tetapi merupakan sesuatu yang dibangun dan terus berjalan secara organic sepanjang waktu, sesuatu yang menjadi dasar bagi organisasi dalam menciptakan stabilitas structural dan integrasi norma serta nilai kedalam pola yang mampu diteliti dan sesuatu yang tumbuh dari pengalaman sebuah kelompok dalam mengatasi permasalahan universal secara kumulatif. Dengan kata lain budaya sebuah kelompok merupakan pola dari pembagian asumsi dasar yang mana sebuah kelompok terus belajar untuk mengatasi beragam masalah.
Schein membagi pemahaman tentang budaya menjadi dalam tiga tingkatan yang saling tergubung. Pertama adalah Artifacts, yaitu apa yang terindara, sebagai contoh lingkungan fisik sebuah organisasi, bahasa sehari-hari, cara rapat, misi dan nilai filosofis organisasi, sistem status, dan juga mitos, ritual, cerita, yang mana asumsi pokok dan dasar nilai organisasi mampu ditransmisikan serta diperkuat. Kedua adalah Espaused Values, merupakan nilai yang mana anggota organisasi menyatakan untuk berkomitmen. Nilai tersebut berada di tingkat tengah dan tidak mampu terindera. Tak jarang termanifestasikan sebagai tujuan, strategi, filosofi serta capaian organisasi, nilai ini memandu pilihan-pilihan yang diambil oleh organisasi untuk dipenuhi dan dicapai. Dan yang terakhir adalah Basic Assumptions, adalah hal yang mendasari tingkatan budaya organisasi yang memberitahu anggota pada tingkatan bawah sadar, bagaimana berpikir dan mmerasakan sesuatu dan tindakan apa yang diambil dalam berbagai situasi.
Teori Z dari William Ouchi
William Ouchi telah melakukan analisa komparasi antara perusahaan Jepang dengan perusahaan Amerika, dimana perusahaan Jepang dinilai lebih berhasil jika dibandingkan dengan perusahaan Amerika. Ouchi menyimpulkan bahwa kunci perbedaan bukanlah berada dalam struktur, strategi atau teknologi tetapi dari seluk beluk manajemen Jepang. Berikut ini perbedannya :
Perusahaan Jepang
Perusahaan Amerika
Pegawai seumur hidup
Pegawai berjangka waktu pendek
Promosi dan evaluasi yang perlahan
Promosi dan evaluasi yg melacu kencang
Jalur kariri tidak terspesialisasi
Jalur karir yang terspesialisasi
Mekanisme kontrol yang implisit
Mekanisme kontrol yang eksplisit
Pembuatan keputusan kolektif
Pembuatan keputusan individual
Tanggung jawab kolektif
Tanggung jawab individual
Fokus pada kesluruhan
Fokus tersegmentasi
Ada perbedaan yang cukup signifikan antara budaya Jepang dengan Amerika yang lebih membedakan dengan tegas antara dunia kerja dengan dunia individu, sedangkan di Jepang manusia dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa pembedaan. Paham nasionalisme yang kuat berpengaruh pada perhatian perusahaan yang holistik –menyeluruh dan utuh, terhadap para pekerja, semisal dengan menjanjikan pekerjaan seumur hidup yang akan ditukar dengan loyatitas penuh.Tanggung jawab secara kolektif melatih indivudu untuk memementingkan kepentingan kelompok dari pada kepentingan indivudu, menyamarkan posisi dan kedudukan dan mementingkan kebersamaan.
Budaya organisasi yang unik dari Jepang pada akhirnya melahirkan sebuah sistem yang bernuansa kekeluargaan, Ouchi menyebutnya sebagai organisasi klan. Dalam organisasi klan ini setiap orang menjadi bagian dari perluasan keluarga, diikat bersama dalam kedekatan dan kepercayaan melalui ikatan yang saling menguntungkan dari pertalian kekeluargaan. Fungsi dari klan adalah melakukan proses sosialisasi terhadap anggota pada nilai dan norma dari budaya dominan. Hal tersebut memfasilitasi integrasi dari tujuan individu dan tujuan organisasi, menciptakan kekuatan komunal, dan memotivasi setiap anggota untuk berperan dalam organisasi. Ouchi menyebutkan bahwa organisasi klan ini sangat berbeda jauh dengan organisasi yang birokratis, jika organisasi birokratis menekankan pada perintah yang hirarkis sedangkan klan membuka peluang untuk memanfaatkan diskrsi dengan pembagian nilai.
Pada perkembangannya, Ouchi menamai perusahaan yang menjalankan tipe organisasi klan dengan nama organisasi tipe Z. Masih menurut Ouchi teori Z mendorong manajer untuk memapankan budaya organisasi sebagai dasar dengan sedikit hierarki dan lebih membangun organisasi yang humanis. Keberhasilan dari teori Z tergantung pada prakondisinya, seperti rendahnya perpindahan pekerja.
Ouchi juga menekankan organisasi tipe Z cenderung mendapat kepastian dari potensial meniadakan kelemahan. Sebagai contoh, karena organisasi tipe Z sangat homogeny dengan penghargaan nilai dan kepercayaan, mereka memusuhi individu yang memiliki pandangan menyimpang, termasuk mereka yang menjadi bagian penting bagi adaptasi dan ketahanan organisasi. Tak hanya itu, mereka cenderung mendiskriminasikan pekerja yang memiliki perbedaan budaya, seperti perempuan dan minoritas. Dan karena budaya sangat sulit untuk diubah, organisasi tipe Z sering tidak mampu bereaksi secara cepat merespon perubahan lingkungan.
Seni Manajemen Jepang dari Pascale dan Athos
Sebuah sejarah pada akhit tahun 1970-an menjelaskan bahwa McKinsey & Company meminta bantuan pada dua akademisi, Pascale dari Stanford dan Athos dari Harvard untuk membangun kerngka konseptual untuk mengidentifikasi faktor penentu kinerja organisasi. Dengan asistensi dari dua akdemisi ini, McKinsey menemukan 7 faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi yang disebut dengan 7S, yaitu, development [S]trategies, Decentralized and division based [S]tructure, Centralized reporting, accounting and personnel [S]ystems, Respectful management [S]tyle, [S]taff development program on job rotation and mentoring, People [S]killdan [S]hared values.
Perumusan 7S dapat kita kategorikan kedalam dua bagian, tiga variabel pertama, dapat dilihat sebagai perangkat keras karena ketiganya mampu terindera dan mampu dianalisa secara rasional, sementara lima variabel lainnya adalah perangkat lunak karena banyak hal yang samar dan kurang mampu dipertanggungjawabkan dalam analisa rasional dan perencanaan sistematis. Tesis utama dari The Art of Japanese Management adalah apa yang menjadi perangkat keras bagi kebanyakan manajer di Amerika, yakni strategi, struktur dan sistem yang kosekuensinya akan mengurangi efektivitas organisasi mereka. Untuk mengoptimalkan kinerja organisasi, manajer harus mengejar 7S dalam keseimbangan, kesesuaian yang terintegrasi, dengan pembagian nilai yang memberikan kunci keberhasilan integrasi.
Beberapa Kritik
Penyegaran perspektif budaya organisasi dan teori manajemen simbolik tidaklah berjalan dengan mulus, kehadiranya menuai kritik. Setidaknya ada empat kritik yang dapat kita pahami dengan mudah. Kritik pertama adalah fakta bahwa hanya sedikit ada bukti nyata yang mendukung teori mengenai hubungan budaya dan pembagian nilai dengan keberhasilan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ouchi dan Jonshon belum mewakili ketercukupan sampel karena baru dilakukan pada perusahaan yang memiliki reputasi, namun belum pada perusahaan pemula.
Kritik kedua menyebutkan bahwa "formula" yang ditawarkan melalui penguatan budaya orgnisasi yang diharapkan akan menghasilkan kinerja yang baik tidaklah benar seutuhnya. Seringkali ada faktor lain yang lebih dominan misalnya faktor kondisi ekonomi. Kritik yang ketiga adalah gambaran budaya organisasi dibentuk dalam hal yang terlalu sederhana, dapat diciptakan dan dikontrol oleh manajer, padahal pada kenyataannya budaya organisasi tersusun dari pertautan beragam budaya, dan tak jarang mengalami konflik antar subkultur. Kritik terakhir adalah bahwa manajemen simbolik merepresentasikan premis ideologi manajemen yang elitis, paternalistik dan tidak beretika dalam memanipulasi simbol dan mencuci otak dari para pekerja hingga mereka mampu mengadopsi nilai dan kepercayaan yang berlawanan atau berlainan.
Beberapa kritik ini menjadi bukti bahwa hipotesa keterhubungan antara budaya yang kuat dengan keberhasilan organisasi belum kunjung terbukti dan teori manajemen simbolik memiliki kecenderungan terlalu optimis mengenai kemampuan manajer untuk membentuk budaya organisasi dan menggunakan hal tersebut untuk mencapai tujuan dari manajer. Namun terlepas dari itu semua, perkembangan literatur ini memberikan perspektif yang baru dan bernilai untuk mengerti perilaku organisasi, hal tersebut menawarkan teori mengenai kinerja organisasi yang mungkin untuk diverifikasi dan dengan menghadirkan kata misi, visi, nilai an hasrat memberikan fokus baru bagi kepemimpinan institusional.
Ditulis sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah Teori Organisasis dan Manajemen Publik, Magister Ilmu Administrasi Univesitas Jendral Soedirman.
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Administrasi, Universitas Jenderal Soedirman, NIM P2FB12014.
Lihat lebih banyak...
Komentar