STRATEGI COPING DALAM OLAHRAGA

December 27, 2017 | Author: Monie Newton | Category: N/A
Share Embed


Deskripsi Singkat

1

STRATEGI COPING DALAM OLAHRAGA

Pengantar Semua orang akan selalu dihadapkan pada sejumlah stimulus yang memberikan pengalaman stress terhadap dirinya. Dalam dunia olahraga, atlet yang berpartisipasi atau terlibat dalam cabang olahraga kompetitif harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi memberikan pengalaman stress terhadap dirinya seperti: kecaman-kecaman dari penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan dalam berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik maupun kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya stress. Atlet yang aktif dalam dunia olahraga baik atlet daerah, nasional, atau internasional harus mempunyai kemampuan dalam coping, sehingga atlet mampu dengan cepat mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal, atau berbagai permasalahan dan aspek-aspek yang kurang menyenangkan yang diterima oleh diri atlet. Dalam bab ini, penulis akan memaparkan mengenai strategi coping dalam olahraga yang secara rinci akan dibahas mengenai definisi coping, kerangka konseptual strategi coping, pengukuran keterampilan coping, jenis strategi coping, dan strategi coping yang digunakan oleh atlet top (elite players). A. Definisi Istilah Untuk memahami istilah coping, penulis akan memberikan definisi coping menurut para akhli. Coping menunjukkan upaya seseorang baik secara kognitif, afektif, dan perilaku untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal secara spesifik (Crocker, Kowalski, and Graham, 1998l Lazarus, 1999). Atlet harus mengembangkan keterampilan coping secara kognitif dan perilaku untuk mengelola stress pada pertandingan yang dihadapi (Scanlan, Stein, & Ravizza, 1991). Coping stress lebih berorientasi pada apa yang dilakukan seseorang untuk mengatasi situasi stress atau tuntutan-tuntutan tersebut. Coping stress berarti cara atau metoda yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi yang tidak

2

menyenangkan atau emosi-emosi negatif yang mengancam keseimbangan diri (Satiarsiatun, 2003). Cope merupakan singkatan yang menggambarkan empat strategi kognitif dan perilaku yang digunakan untuk mengatasi stimulus atau input/masukanmasukan yang tidak menyenangkan yang bersumber dari orang lain (Anshel, 1990). Untuk lebih jelas mengenai arti perkata tentang cope, penulis akan menguraikan sebagai berikut: C adalah control emotions (pengendalian emosi): yaitu reaksi yang terjadi dengan cepat pada pikiran atlet dan tubuh terbuka untuk menerima input yang mengandung aspek permusuhan (a hostile) yang menyebabkan munculnya perasaan gelisah, tegang, dan tubuh menjadi siap secara fisiologi. Respons ini dikenal dengan istilah refleks “fight or fight” dalam sistem syaraf simpatik. O adalah organize input. (pengelolaan input): Dalam masalah ini atlet secara rasional menyepakati terhadap input. Atlet akan mengetahui perbedaanperbedaan antara informasi yang penting dan tidak penting yang diterima oleh diri atlet, sehingga atlet mampu untuk mengelola input dengan sebaik-baiknya. P adalah plan response (merencanakan respons). Atlet akan memfokuskan pada perasaan yang tidak menyenangkan, untuk mencegah dan memelihara keadaan siap secara optimal (optimal readiness) dalam dirinya untuk mempersiapkan respon-respon berikutnya. Atlet harus cepat merencanakan kegiatan-kegiatan berdasarkan feedback (umpan balik) dan pengalaman yang diperolehnya. Misalnya atlet mengakui kekuatan lawan dan strategi yang akan digunakannya dalam pertandingan, dengan pengalaman tersebut atlet akan berkonsentrasi dalam memperbaiki penampilannya setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan. E

adalah

Execute

(pelaksanaan):

Atlet

menampilkan

berbagai

keterampilannya secara tepat, cepat, dan teliti tanpa melibatkan proses berpikir. Artinya, atlet akan berupaya untuk merespon input secara cepat tanpa dipikir terlebih dahulu tentang apa yang harus diperbuat (otomatisasi). Upaya tersebut penting dilakukan atlet terutama setelah menerima input-input negatif. Atlet yang diintimidasi dengan perkataan yang mengecilkan hatinya dalam pertandingan,

3

akan mempunyai sifat ragu-ragu untuk mengambil tindakan yang beresiko, kurang kepercayaan diri (less self confidence) dalam melakukan penampilannya. Pada tahapan ini bagaimana atlet penampilkan performanya dengan penuh rasa percaya diri, tegas, siaga, dan tetap konsentrasi.

B. Dasar Pemikiran Strategi Coping Dalam lingkungan olahraga, atlet harus mampu mengelola tuntutantuntutan individu dengan mengidentifikasi kemampuan mereka. Efektifitas coping dalam olahraga adalah proses penyesuaian dengan penampilan atlet di dalam aktivitas olahraga, maksudnya atlet melakukan coping terhadap situasi-situasi yang mengakibatkan munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam situasi tersebut, tentunya harus melibatkan aspek kognitif, emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai kompetensi yang dimiliki atlet. Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan (sumber-sumber, perilaku coping) yang mampu mengatasi tuntutan-tuntutan (stressors). Madden (1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan dengan baik merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis setiap orang akan siap menghadapi berbagai tuntutan yang datang pada dirinya. Upaya yang bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan melakukan kegiatan relaksasi. Latihan merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, begitupun stress dapat dikurangi dengan melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti perasaan takut, ketegangan otot dan sebagainya bisa dikurangi. Relaksasi adalah teknik coping yang bisa mengurangi tingkat arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi didasarkan pada prinsip Wolpe’s tentang principle of reciprocal inhibition menganggap bahwa respon-respon maladaptive (seperti, ketegangan yang diakibatkan oleh stress) dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau menghambat untuk memulai dan melakukan sesuatu. Jika seseorang bisa menyebabkan keadaan relaks, secara

4

logika tidak konsisten dan berlawanan dengan keadaan psikologis. Selain itu, Madden (1995) mengatakan strategi kognitif seperti associative dan dissociative merupakan strategi coping pada atlet untuk memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya (associative strategy), dan pemikiran dan perasaan yang membantu untuk mengambil perhatian dari atlet pada kondisi fisiologis (dissociative strategies). Pengaruh yang signifikan pada lingkungan yang terdiri dari stimuli akan dirasakan atlet dalam pertandingan. Konsep coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya dengan lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi hierarkhi yang berkembang dari yang belum matang (immature) dan mekanisme primitif yang menyimpang dari kenyataan, kepada mekanisme yang matang. Lazarus dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997) merumuskan strategi hierarkhi merespon, sebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling tinggi dan meningkat pada kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme coping yang baik untuk digunakan. Apruebo (1997) mengidentifikasi lima hierarkhi pada strategi coping. Pertama, strategi coping yang disebabkan oleh episode-episode stress dalam kehidupan. Strategi ini mencakup: 1) pengendalian diri (self control, 2) humor, 3) menangis (crying), 4) bersumpah (swearing), 5) Tangisan (weeping), 6) sombong (boasting), 7) membicarakan (talking it out), 8) Berpikir tentang ide (thinking though), dan 9) Bekerja mengurangi energi (working of energy). Strategi ini efektif jika digunakan dengan tepat sebagai pertolongan pertama, bagaimanapun strategi atau pengaturan secara primitif (immature) tidak cocok digunakan pada tingkatan yang ekstrim, seperti banyak menangis, banyak bicara, mudah tertawa, hilangnya sifat marah, gelisah, dan perilaku aneh yang tidak menentu lainnya. Kedua, strategi coping yang tidak terkendali dan mengancam adanya ketidakseimbangan, maksudnya terjadi kekacauan (disorganization) secara internal, karena pengaturannya lebih bersifat primitif. Misalnya: 1) penarikan diri dan memisahkan diri (withdrawal dissociation) seperti narcolepsy (kondisi patologis di mana seseorang memiliki suatu keinginan yang tak terkendalikan untuk tidur serta memiliki periode-periode tidur yang berulang-ulang antara

5

beberapa menit hingga beberapa jam), amnesia (ketidakmampuan mengingat kejadian-kejadian terdahulu akibat kerusakan otak atau trauma fisik), dan depersonalisasi (hilangnya kesadaran akan realitas atau kesadaran identitas). 2) penarikan diri oleh pemindahan agresi seperti: aversion (keengganan atau sikap atau perasaan tidak senang terhadap sesuatu yang disertai dengan impuls untuk menjauhkan diri), berprasangka, phobia, dan sikap counter phobic), 3) penggantian pada simbol-simbol dan modalitas untuk lebih terus terang atau jujur seperti: compulsions (keadaan yang memaksa untuk berbuat sesuatu atau impuls yang kuat untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan), dan ritual, 4) penggantian diri atau sebagian diri sebagai objek pada pemindahan agresi seperti: self imposed (dibebankan pada diri sendiri), restriction dan abasement (pembatasan dan kerendahan diri), dan mabuk-mabukan). Ketiga, strategi coping yang ditunjukkan secara episodik, ledakan secara eksplosif disebabkan adanya energi agresif yang berlebihan atau kurangnya pengaturan seperti kekerasan, perilaku agresif, convulsion (kejang pada tubuh yang sangat hebat), dan panic attacks. Keempat, strategi coping yang ditunjukkan pada peningkatan kekacauan (increased disorganization). Kelima, strategi coping dengan adanya disintegrasi total pada ego yang ditandai dengan gangguan dan kekacauan. Bagaimanapun banyak strategi coping yang ditandai dengan tidak adanya control dan tidak adanya keseimbangan dalam melakukan coping. Vaillant dalam Apruebo (1997) mengklasifikasikan mekanisme coping ke dalam empat tingkatan yaitu: (1) peningkatan mekanisme psikotic seperti penolakan pada realitas eksternal, adanya perubahan dan projeksi angan-angan; (2) melalui mekanisme yang belum matang (immature) meliputi pantasi, projeksi, hypocondriasis (suatu reaksi neurotik dimana seseorang merasa sangat berkepentingan dengan kesejahteraan fisiknya dan terus menerus mengeluh terhadap penyakit paling ringan sekalipun. Keadaan ini biasanya dibarengi dengan perhatian yang serius terhadap gejala-gejala penyakit yang sebenarnya hanya ada dalam bayangannya), dan perilaku agresif pasif. Maksud projeksi dalam pernyataan tersebut adalah mempertalikan motif-motif atau pikiran-pikiran sendiri dengan motif dan pikiran orang lain, seperti orang menipu mengira bahwa

6

orang lain akan menipu dirinya, atau keburukan yang diketahuinya ada pada diri sendiri dapat dilihat oleh orang lain. Projeksi juga merupakan proses mempertalikan pendirian, perasaan dan pemikiran yang dimiliki seseorang kepada orang lain, terutama pendirian, perasaan dan pemikiran yang tidak disukai, menganggap stimuli objektif secara subjektif. (3) dengan mekanisme neurotic, meliputi intelektualisasi, represi, dan reaksi-formasi; (4) pada tingkatan yang lebih tinggi diketahui sebagai mekanisme yang matang (mature) seperti sublimasi, altruisme (sifat mementingkan orang lain), suppression (penindasan/proses merintangi impuls-impuls atau pemikiran-pemikiran yang kurang berkenan secara sadar dan disengaja, misalnya seseorang yang merintangi sendiri keinginannya untuk memukul orang lain), antisipasi dan humor. Haan dalam Apruebo (1997) mengusulkan proses ego dalam istilah tripartite hierarchical arrangement yaitu: (1) coping diekspresikan dengan maksud menganalisis secara logika melalui proses generik dan maksud secara simbolik; (2) mempertahankan rasionalisasi; (3) Fragmentasi secara eksplisit dalam confabulasi (tindakan memenuhi ingatan dengan pernyataan-pernyataan yang masuk akal, tetapi pada kenyataanya tidak benar, orang yang melakukannya berkeyakinan bahwa penyataan-pernyataannya benar). Selanjutnya, kepekaan tersebut, diekspresikan sebagai empathy yaitu aktul coping, projeksi, dan rasionalisasi. Madden (1995) mengungkapkan strategi coping yang dilakukan seseorang yaitu dengan cara problems focused dan emotional focused. Problem focused berorientasi pada penyelesaian masalah dengan cara mencapai penyelesaiannya. Usaha yang dilakukan mencakup beberapa tahap, yaitu mengidentifikasi masalah, mengumpulkan alternatif pemecahan masalah, mempertimbangkan alternatif tersebut, memilih alternatif terbaik dan akhirnya mengambil tindakan. Contoh, atlet football akan menggunakan kawan seregunya sebagai sebuah “monitor” untuk menghindarkan penutupan lawan. Sikap dan perilaku demikian diarahkan kepada lingkungan seperti mengubah tekanan, hambatan, sumber yang menghasilkan stress dalam lingkungan. Sikap dan perilaku tersebut, juga dapat diarahkan kepada dirinya sendiri, yang meliputi pengerahan motivasi, perubahan

7

penilaian kognisi dan tingkat aspirasi, mengembangkan standar perilaku baru dan memperlajari keterampilan-keterampilan baru. Emostional focused maksudnya tekanan emosional yang dialami seseorang yang berusaha dikurangi tanpa mengubah kondisi objektif dari situasi yang ada. Bentuk reaksi tersebut berupa penghindaran, mengurangi tekanan hingga minimal, membuat jarak, memberi perhatian secara selektif, atau memberi makna positif terhadap situasi yang negatif. Cara ini digunakan untuk menjaga keyakinan diri dan harapan, menyangkal fakta dan akibat yang mungkin dihadapi, bereaksi seolah-olah sesuatu tidak pernah terjadi atau tidak menimbulkan masalah karena dipandang tidak ada gunanya mengetahui kenyataan buruk. Lazarus and Folkman (1984) menurunkan dimensi-dimensi pada coping stress yang berorientasi pada problem focused, dimensi tersebut adalah sebagai berikut: (1) berusaha mendapatkan beberapa alternatif pemecahan masalah yaitu menunjukan arah, kekuatan, intensitas dan frekuensi usaha-usaha dalam mengatasi

masalah

mengumpulkan

yang

informasi

dipersepsikan yaitu

mengandung

menggambarkan

bebas

banyaknya

stress;

(2)

keterangan-

keterangan yang berhasil mereka pelajari untuk diorganisasikan menjadi bentuk pengetahuan tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah yang sedang mereka hadapi; (3) merencanakan tindakan yang mencakup sejumlah perencanaan yang dipersiapkan guna mengantisipasi permasalahan yang harus mereka selesaikan. Sedangkan yang berkaitan dengan dimensi-dimensi pada coping stress yang berorientasi pada emotional focused, meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut: (1) mencari dukungan emosional, yaitu menggambarkan usaha-usaha individu untuk mencari dan memperoleh dukungan emosional yang dapat memberikan rasa aman kepada kehidupan pribadinya, khususnya berkaitan dengan gejolak emosi yang dirasakannya berkaitan dengan beban masalah yang sedang mereka alami; (2) membuat jarak, yaitu usaha-usaha individu untuk mengurangi kontak atau interaksi dengan suatu objek atau subjek yang dipersepsikan berpotensi memberi beban stress pada dirinya; (3) menghindar, yaitu gambaran perilaku individu yang lebih banyak bersikap menghindar dan

8

menarik diri dalam keterlibatan sosial dengn harapan mampu mengendalikan gejolak dalam kehidupan emosi berkaitan dengan permasalahan yang harus dihadapi; (4) memberi perhatian pada aspek-aspek positif dari situasi yang dihadapi. Menggambarkan usaha individu untuk mengabaikan sisi negatif dari segenap kejadian dengan mencoba menilai hal-hal

yang positif dalam setiap

permasalahan dan menganggap bahwa semua keputusan atau tindakan adalah benar dan beralasan; (5) tidak peduli, yaitu aspek yang menunjukkan reaksi perilaku individu yang cenderung membutakan diri terhadap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya, meskipun hal tersebut berkaitan dengan kepentingan dan keberadaan dirinya.

Pengukuran Keterampilan Coping Untuk mengukur coping stress yang dilakukan seseorang, harus menentukan subjek dan merekontruksi cara orang tersebut dalam menghadapi situasi yang menyebabkan stress dan menceritakan segala sesuatu yang mereka pikirkan, rasakan dan lakukan. Semua individu harus mengungkapkan pengalaman dan perasaan hidupnya yang terjadi dan sesuatu yang dapat dilakukan dengan keadaan tersebut, dengan demikian akan menggugah suatu perilaku yang dapat diidentifikasi sebagai coping stress. McGrath (1997) mengatakan dalam sebuah katalog bahwa penilaian skala akan digunakan untuk mengukur coping stress, penilaian tersebut digunakan dalam psikometrik dengan tujuan mengklasifikasi perilaku. Kerlinger (1997) juga mengatakan untuk mengukur stress sebagai objek, digunakan penilaian skala, dengan mengamatinya secara langsung. Kerlinger mendefinisikan bahwa penilaian skala merupakan instrumen pengukuran yang dibutuhkan pengamat (observer) untuk menentukan objek atau kategori pada apa yang mereka amati. Berdasarkan teori dan empirik Apruebo (2005) dalam menggunakan penilaian skala dalam kontruksi Stress Rating Scale for Student Athletes (SRSSA) dan Coping Mechanism Stress Rating Scale (CMSRS). SRSSA dikembangkan untuk mengidentifikasi perbedaan gejala stress dan situasi stress. Terdapat lima poin penilaian skala yang tediri dari 184 item yang berisi tiga dimensi stress yaitu:

9

1) physical biological (P-B), 2) Cognitive (COG), dan 3) Predispositional (PreD). Physical biological stress (P-B) adalah perubahan yang dirasakan dari suatu tempat dalam sistem yang bervariasi pada tubuh mengenai suasana, objek, dan tempat; dalam merespon stress pada latihan fisik seperti temperatur tubuh, sistem pernapasan, sirkulasi, sistem kardiovaskuler, tulang otot (skeletal muscles), dan stimulus psikis; dalam mengelola diet dan sistem nutrisi; dalam mereaksi zatzat psikoaktif (psychoactive substance) seperti alkohol, obat-obatan, dan tembakau; dan dalam atlet yang mempunyai sifat mudah terserang luka (vulnerability) seperti kesakitan, penyakit, cedera, dan atau kecelakaan. Kognitif stress (COG) adalah menjelaskan proses penilaian stress pada atlet yang menghadapi masalah pribadi. Stress yang dialami seseorang tentu berbeda-beda dan berbeda pula dalam derajat interpretasi dan mereaksinya; tingkat sensitivitas dan sifat yang mudah terserang stress dihasilkan dari pola pemikiran dan perilaku belajar. Predispositional stress (PreD) menunjukkan sifat atlet yang mudah terserang stress yang cenderung muncul dari tubuh, personal, emosional, motivasi, sosial, keterampilan, penampilan, dan lingkungan atau dimensi-dimensi sosial. CMSRS dikonstruksi untuk mengindentifikasi perbedaan cara coping yang dialami seseorang dari peristiwa stress yang terjadi beberapa waktu. CMSRS terdiri-dari 70 item yang berisi empat dimensi coping yang terfokus pada: (1) problems (Pro); (2) emotion (EMO); (3) interpersonal (Int); (4) Faulty (FY). Coping yang terfokus pada masalah (problems) mengacu kepada perencanaan, pemecahan masalah, berpikir logis, dan memecahkan sesuatu untuk mengubah sumber stress. Coping yang terfokus pada emosi yaitu untuk mengurangi dan mengelola emosional distress yang dihubungkan dengan situasi. Dalam coping tersebut meliputi pembentukan religi, menangis, rasa humor, kematangan emosional, dan rasa menerima (acceptance). Coping yang terfokus pada interpersonal yaitu untuk mencari nasehat, bantuan, dan informasi. Memperoleh dukungan moral, simpati, dan pemahaman dari orang lain. Sedangkan coping yang terfokus pada kesalahan (faulty) menunjukkan coping

10

negatif atau kurangnya pola coping yang tersusun dari belajar yang salah, tidak berdaya, agresi, perilaku, mental, dan melupakan alkohol dan obat-obatan. Menggunakan

instrumen

SRSSA

dan

CMSRS,

Apruebo

(1997)

menemukan skor yang diperoleh atlet pada pertandingan bola basket, bola voli, softball, baseball, dan soccer football yang dikategorikan dari Politeknik University of the Philippines (PUP) yang tercatat rendah dalam Physical Biological (P-B) tetapi tinggi pada dimensi stress pada Cognitive (COG) dan Predispositional (PreD) di SRSSA. Pada mekanisme coping, skor atlet rendah dalam Problems (Pro), moderat dalam Emotion (Emo) dan Interpersonal (Int), tetapi tinggi dalam Faulty (FY) dalam CMSRS. Apruebo (1997) telah menunjukkan implikasi yang relevan pada konstruksi lokal SRSSA dan CMSRS. Perkembangan dan menggunaan instrumen tersebut, dibutuhkan untuk mendiagnosa dan memprediksi dimensi stress dan mekanisme coping, di mana peneliti mengidentifikasi tingkat stress dan peneliti menetapkan perbedaan hubungan yang signifikan pada variabel mekanisme coping dan dimensi lainnya. Penggunaan instrumen ini dibutuhkan untuk menetapkan

norma

yang

membantu

peneliti

untuk

menganalisis

dan

menginterpretasi data untuk lebih berarti, valid, dan menginterpretasikan skor dengan relevan. Banyak instrumen yang digunakan untuk mengukur coping yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan gaya coping di dalam olahraga. Beberapa instrumen tersebut, digambarkan sebagai berikut: 1. Madden’s Way of Coping with Sport (WOCS). Instrumen ini mengukur coping yang terfokus pada masalah, melihat dukungan sosial, emosional secara umum, peningkatan usaha dan pemecahan masalah, penolakan/menyangkal, sikap yang tak terpengaruh (detachment), impian khayalan (wishful thinking), dan menentukan gaya coping positif. Instrumen ini telah digunakan pada pemain bola basket (Madden, 1995). 2. McDonald and Madden’s Way of Coping with Injury (WOCI). WOCI adalah instrumen psikometrik untuk memonitor cara-cara atlet mengatasi cedera. Instrumen ini disusun pada pemikiran dan aktivitas atlet dan pemain yang

11

cedera selama latihan atau pertandingan. Mood disturbance dan self esteem adalah dua dimensi pokok dalam WOCI (McDonald and Madden, 1991). 3. Madden’s and Evan’s Mental Attributes of Performance (MAPS). Madden dan Evans (1993) mengembangkan MAPS, yaitu sebuah instrumen yang menggambarkan aspek mental pada penampilan (strategi coping) dari penampilan ke penampilan. Instrumen ini mulai digunakan pada strategi coping pelatih dan pemain Australian Rules Football. Item MAPS mengacu kepada perasaan atau pengalaman mereka dalam mempersiapkan selama penampilan. MAPS telah diketahui reliabilitas dan validitasnya. MAPS mempunyai sembilan skala yaitu: (1) attention; (2) proactive problem-focused coping; (3) arousal; (4) communications; (5) self control; (6) effort; (7) task focus; (8) risk taking and commitment; dan (9) self-assurance. 4. Thomas and Over’s Golf Performance Survey (GPS). Instrumen GPS telah dikembangkan khusus pada pemain golf. Penggunaan instrumen ini yaitu pada keterampilan dan strategi seorang pegolf. Thomas dan Over (1994) menyatakan bahwa keterampilan pegolf mempersiapkan mental, consentrasi, beberapa emosi negatif dan kognitif, psikomotor yang otomatis, dan komitmen pegolf. 5. Sport Inventory for Pain (SIP). Instrumen SIP dikembangkan oleh Meyers, Bourgeois, Stewart, dan LeUnes (1992) untuk mengukur perbedaan atlet dalam

merespon

perasaan

sakit.

Coping,

cognitive,

avoidance,

catastrophising, dan body awareness adalah merespon perasaan sakit dalam sub skala pada SIP yang menunjukan perbedaan cara coping pada perasaan sakit atau cedera.

Strategi Coping yang Digunakan Atlet Top Strategi coping yang dilakukan atlet top (elite player) beraneka ragam sehingga mereka benar-benar dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal. Atlet top harus mampu melakukan pencegahan terhadap berbagai macam penyebab stress. Atlet dalam mengatasi stress atau situasi yang tidak menyenangkan, seringkali melakukan upaya seperti

12

1) merencanakan sesuatu pada penampilan mereka, apa yang akan terjadi sebelum atau selama pertandingan, 2) mempunyai kurang lebih satu alternatif perilaku untuk merencanakan aksi (Rushall, 1979). Orlick (1980) mengatakan bahwa cara terbaik untuk mencegah perasaan panik dan cemas adalah mulai berpikir tentang pemecahan masalah sebelum masalah itu tiba. Atlet dalam hal ini harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri untuk memecahkan permasalahan tersebut. Atlet elit biasanya merencanakan dan menampilkan berbagai strategi coping selama latihan atau pertandingan, sehingga situasi pelatihan dan pertandingan berada dalam situasi stress yang terkendali. Selanjutnya Nicholas Holt (2005) menjelaskan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam coping stress yaitu evaluation and strategic planning, proactive psychological strategies, dan reactive psychological strategies.

Evaluasi dan Perencanaan Strategi Dalam mengevaluasi dan merencanakan strategi coping, biasanya seseorang menggunakan tiga teknik yang memungkinkan dapat merencanakan strategi dengan efektif. Strategi tersebut adalah: 1) Mempelajari lawan (learning about opponents). Strategi ini dilakukan atlet dengan tujuan untuk mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan dari pengalaman-pengalaman yang pernah diketahui sebelumnya. Atlet diharapkan 90% dapat mengetahui apa kekuatan dan kelemahan lawan. Bayangkan kembali apa yang telah diperbuat atau dicapai oleh lawan pada berbagai pertandingan sebelumnya, dan tentukan strategi apa yang harus dilakukan untuk menghadapi lawan tersebut. 2) Reading (new) opponents (membaca lawan baru). Atlet dalam pertandingan biasanya dihadapkan dengan lawan tanding baru, sebelum atlet bertanding dengan lawan baru perlu menerapkan strategi dengan cara membaca lawan. Strategi ini penting karena atlet/pelatih dapat menilai lawan baru dengan cepat, misalnya melihat bagaimana cara lawan berdiri, menilai bahasa tubuhnya, sehingga atlet mengetahui apakah lawan benar-benar siap untuk bertanding atau

13

belum. Atlet biasanya menggunakan berbagai informasi untuk mengeksploitasi kelemahan-kelemahan lawan. 3) Understanding condition (memahami kondisi). Atlet belajar untuk memahami kondisi lingkungan, dan berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan kondisi lapangan untuk menerima berbagai tuntutan dalam pertandingan.

Proactive Psychological Strategies Proaktive

psychological

strategies

bertujuan

untuk

membangun

kepercayaan diri dan memelihara konsentrasi secara proaktif. Atlet yang proaktif akan menggunakan keterampilannya dalam mengantisipasi apa yang mereka butuhkan. Proactive psychological strategies meliputi: 1) Confidence building (membangun kepercayaan). Strategi ini penting bagi atlet dalam memelihara dan memproteksi kepercayaan untuk mengelola berbagai tekanan. Atlet yang dapat menampilkan performa yang baik berarti atlet mempunyai kepercayaan diri yang baik. Di samping itu atlet melakukan latihan mental (mengingat dan merenungkan permainan-permainan yang lalu), dan tidak lupa melakukan self talk. 2) Maintaining concentration (mempertahankan konsentrasi). Konsentrasi adalah penting bagi atlet karena atlet perlu konsentrasi lebih lama pada pertandingan. Atlet juga harus mengembangkan kemampuan tersebut dengan tujuan mengalihkan konsentrasinya ketika dibutuhkan, dan melakukan konsentrasi rutin untuk melakukan tugas-tugas tertentu,

rutin dalam pernyataan tersebut

adalah: (1) berpikir tentang tugas-tugas sebelumnya, dan berpikir apa yang akan dilakukan berikutnya, 2) berhenti berlari untuk memperoleh ide cemerlang dalam pikiran anda apa yang akan dilakukan, 3) mulai melakukan lari dan jangan merubah keputusan anda.

Reactive Psychological Strategies Atlet mempunyai dua keterampilan reaktif yang digunakan untuk menilai dirinya pada saat penampilannya menurun. Keterampilan reaktif ini adalah resilience dan self-talk. Resiliance maksudnya atlet dalam mengatasi kesalahan

14

biasanya dengan cara mendisplay resiliance atau the ability of bounce back. Atlet menggunakan resiliance pada tingkat spesifik setelah terjadi kesalahan. Jadi jika atlet melakukan kesalahan dalam melakukan kegiatan, atlet tetap confidence dan tidak membuat berhenti berlatih. Beberapa strategi coping lainnya yang biasa dilakukan atlet top dalam menghadapi tekanan dalam olahraga adalah sebagai berikut: Strategi Coping pada Saat Terjadi Cedera Salah satu bagian yang sangat tidak disukai dalam olahraga kompetitif adalah terjadi cidera. Atlet dalam menghadapi cidera, tentu memiliki cara yang berbeda-beda, seperti kemampuan menerima keadaan apabila mereka mengalami cidera (pain threshold) dan toleransi terhadap terjadinya cidera (pain tolerance). Ryan (1976) dalam Anshel (1990:37) telah mempelajari ambang kesakitan dan kemampuan untuk mendeteksi perasaan sakit pada waktu cedera. Sehingga dari apa yang dipelajarinya, tidak ditemukan perbedaan dalam tingkat ambang kesakitan pada tiga kelompok atlet (atlet kontak body langsung, atlet tidak kontak langsung, dan kelompok non atlet). Perbedaan nampak dalam kemampuan toleransi terhadap cedera. Hasil studi menunjukkan bahwa, atlet yang mengikuti kontak body langsung mampu melakukan toleransi terhadap cedera, diikuti oleh atlet tidak kontak langsung, sedangkan non atlet hanya bisa mentolelir aspek yang tidak menyenangkan. Toleransi terhadap perasaan sakit lebih berhubungan dengan faktor lingkungan dan faktor psikologis. Atlet top biasanya mengikuti empat langkah dalam melakukan coping terhadap perasaan sakit atau cedera. Anshel (1990) mengatakan: 1. Atlet menggunakan strategi kognitif. Atlet top mempersiapkan diri apabila terjadi cedera dengan mengembangkan self-statement dan mental imagery untuk menangani masalah yang terjadi. Contoh, atlet konsentrasi pada lawan dan fokus pada teknik yang dilakukan, dan mengatakan saya bisa menanggulangi cidera atau kelelahan. 2. Atlet menghadapi dan menangani cedera. Untuk mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan, atlet biasanya menggunakan self-statement seperti, “saya akan mengabaikan tubuh saya, konsentrasi pada lawan saya.

15

3. Atlet elit mengatasi cidera pada momen yang kritis. Seorang pesaing akan membolehkan dirinya merasakan perasaan yang tidak menyenangkan hanya pada waktu tertentu. Contoh, atlet fokus pada cedera hanya sebelum pertandingan, dan mereka akan mengabaikan cedera ketika menampilkan gerak di lapangan dan ketika konsentrasi pada lawan.

Strategi Coping pada Kelelahan Atlet top tentu mempunyai kondisi fisik yang baik, tetapi dalam pertandingan terkadang atlet tidak menunjukkan keberhasilan. Dengan kata lain, meskipun kondisi fisik dan kualitas penampilannya baik bukan merupakan jaminan dalam mencapai keberhasilan. Kebugaran fisik tidak selalu dapat mengatasi berbagai tugas yang harus dilakukan, yang lebih penting adalah kemampuan untuk mencegah kelelahan fisik yang mengganggu penampilan secara signifikan. Atlet top cenderung menggunakan satu atau dua teknik mental dalam mengatasi perasaan lelah yaitu association dan dissociation. Tujuan association pada diri atlet, untuk memelihara upaya-upaya penting dan motivasi untuk memenuhi tantangan dan tujuan personal. Contoh, Pelari jarak menengah Swedia mengatakan, selalu konsentrasi pada saat menginjakkan kakinya pada setiap langkah, pelari ini mengikuti tuntutan internal pada penampilan yang menyebabkan kelelahan. (Iso-Ahola and Hatfield, 1986; dalam Anshel, 1990). Association dapat meledak sebelum waktunya (backfire) jika atlet memfokuskan pada tuntutan internal seperti pada cedera. Ahli psikologi olahraga menemukan alasan mengapa atlet yang cedera tidak kembali kepada kualitas penampilan mereka terdahulu meskipun istirahat secara fisik penuh, alasannya perhatian mereka tidak benar-benar fokus pada cidera dibanding faktor lingkungan seperti tim, dan lawan. Disociation memerlukan mental yang khusuk pada pertandingan yang sifatnya eksternal yang tampil sebagai penentang perasaan internal. Pelatihan yang menggunakan musik, merupakan contoh pelayanan fungsi disociation yang fokus pada perhatian dan penampilan yang bersifat eksternal. Musik direspon oleh

16

fisik yang mengakibatkan latihan penuh semangat (Anshel and Marisi, 1978). Teknik ini dapat membantu memulihkan kelelahan pemain dan memelihara perasaan yang tidak menyenangkan yang turut campur aspek kognitif pada pertandingan.

Orientasi Kedepan ............ Ringkasan Coping adalah upaya seseorang baik secara kognitif, afektif, dan perilaku untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal secara spesifik. Coping stress merupakan metoda yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau emosi-emosi negatif yang mengancam keseimbangan diri. Terdapat lima hierarkhi pada strategi coping: (1) strategi coping yang disebabkan oleh episode-episode stress dalam kehidupan, seperti: a) self control, b) humor, c) crying, d) swearing, e) weeping, f) boasting, g) talking it out, h) thinking though, dan i) working of energy; (2) strategi coping yang tidak terkendali dan mengancam adanya ketidakseimbangan, seperti: a) withdrawal dissociation (seperti narcolepsy, depersonalisasi). b) penarikan diri oleh pemindahan agresi (seperti aversion); c) penggantian pada simbol-simbol dan modalitas untuk lebih terus terang atau jujur (seperti compulsions, dan ritual); d) penggantian diri atau sebagian diri sebagai objek pada pemindahan agresi (seperti: self imposed, restriction, dan abasement); (3) strategi coping yang ditunjukkan secara episodik, ledakan secara eksplosif disebabkan adanya energi agresif yang berlebihan atau kurangnya pengaturan (seperti

kekerasan, perilaku agresif,

convulsion, panic attacks); (4) strategi coping yang ditunjukkan pada peningkatan kekacauan (increased disorganization); (5) strategi coping dengan adanya disintegrasi total pada ego yang ditandai dengan gangguan dan kekacauan. Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam coping stress yaitu: Evaluation and strategic planning seperti: 1) learning about opponents,

2)

reading (new) opponents, 3) understanding condition; Proactive psychological

17

strategies, seperti: 1) confidence building, 2) maintaining concentration Sedangkan reactive psychological strategies, seperti: 1) resilience dan 2) selftalk. Strategi coping yang digunakan atlet top adalah pada saat terjadi cedera, seperti: 1) atlet menggunakan strategi kognitif, 2) atlet menghadapi dan menangani cedera, 3) atlet elit mengatasi cidera pada momen yang kritis. Sedangkan pada kelelahan, biasanya dengan cara (association dan dissociation). Instrumen yang digunakan untuk mengukur coping diantaranya adalah (1) Madden’s Way of Coping with Sport (WOCS); (2) McDonald and Madden’s Way of Coping with Injury (WOCI); (3) Madden’s and Evan’s Mental Attributes of Performance (MAPS); (4) Thomas and Over’s Golf Performance Survey (GPS). (5) Sport Inventory for Pain (SIP).

Pertanyaan Diskusi 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan coping dan coping stress? 2. Metoda apa saja yang bisa dijadikan sebagai strategi coping? 3. Apa yang harus diperhatikan dalam strategi coping? 4. Sebutkan lima hierarkhi dalam strategi coping? 5. Mengapa atlet dalam olahraga perlu memiliki kemampuan coping? 6. Strategi coping apa yang bisa dilakukan atlet, tatkala atlet mengalami cedera, dan kelelahan? Daftar Pustaka Anshel, Mark. H. (1997). Sport Psychology. From Theory to Practice. Third Edition. USA: Gorsuch Scarisbrick, Publishers. Apruebo, Roxel. A. (1997). Coping Mechanisme Stress Rating Scale. Manual. Manila: National Library. Apruebo, Roxel. A. (2005). Sport Psychology. Manila, Philipines: UST Publishing House. Crocker, Kowalski, & Graham, Lazzarus. (1999). Measurement of Coping Strategies in Sport. Morgantown, WV: Fitness Information Technology.

18

Haan, Selye. (1997). Stress Without Distress. New York: J.B. Lippencott Company. Kerlinger, F. N. (1986). Foundation of Behavioral Research. Third Edition. CBS. College Publishing. Lazzarus, R. S. (1984). Psychological Stress and The Coping Process. New York: McGraw Hill. Lazzarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer. Madden, Chris. (1995). Sport Phychology: Theory, Applications and Issues. Eds. Tonny Morris and Jeff Summers. New York: John Wiley and Sons. Nocholas, L. Holt. (2002). Coping in Profesional Sport: A Case Study of an Experienced Cricket Player. Journal of Sport & Exercise Psychology, 16, 110-120. Orlick, Terry. (1998). How to Manage Stress. USA: Mind Tool Ltd. http://www.mindtools.com/stresscn.html. Satiarsiatun (2003). Hubungan Self-Esteem, Motivasi Berprestasi dengan Coping Stress: Tesis. Tidak Diterbitkan. Scanlan, T.K. Stein, G.L., & Ravizza, K. (1991). An in-depth Study of Former Elite Figure Skaters: III Sources of Stress. Journal of Sport & Exercise Psychology, 13, 102-120.



Deskripsi

1

STRATEGI COPING DALAM OLAHRAGA

Pengantar Semua orang akan selalu dihadapkan pada sejumlah stimulus yang memberikan pengalaman stress terhadap dirinya. Dalam dunia olahraga, atlet yang berpartisipasi atau terlibat dalam cabang olahraga kompetitif harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi memberikan pengalaman stress terhadap dirinya seperti: kecaman-kecaman dari penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan dalam berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik maupun kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya stress. Atlet yang aktif dalam dunia olahraga baik atlet daerah, nasional, atau internasional harus mempunyai kemampuan dalam coping, sehingga atlet mampu dengan cepat mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal, atau berbagai permasalahan dan aspek-aspek yang kurang menyenangkan yang diterima oleh diri atlet. Dalam bab ini, penulis akan memaparkan mengenai strategi coping dalam olahraga yang secara rinci akan dibahas mengenai definisi coping, kerangka konseptual strategi coping, pengukuran keterampilan coping, jenis strategi coping, dan strategi coping yang digunakan oleh atlet top (elite players). A. Definisi Istilah Untuk memahami istilah coping, penulis akan memberikan definisi coping menurut para akhli. Coping menunjukkan upaya seseorang baik secara kognitif, afektif, dan perilaku untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal secara spesifik (Crocker, Kowalski, and Graham, 1998l Lazarus, 1999). Atlet harus mengembangkan keterampilan coping secara kognitif dan perilaku untuk mengelola stress pada pertandingan yang dihadapi (Scanlan, Stein, & Ravizza, 1991). Coping stress lebih berorientasi pada apa yang dilakukan seseorang untuk mengatasi situasi stress atau tuntutan-tuntutan tersebut. Coping stress berarti cara atau metoda yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi yang tidak

2

menyenangkan atau emosi-emosi negatif yang mengancam keseimbangan diri (Satiarsiatun, 2003). Cope merupakan singkatan yang menggambarkan empat strategi kognitif dan perilaku yang digunakan untuk mengatasi stimulus atau input/masukanmasukan yang tidak menyenangkan yang bersumber dari orang lain (Anshel, 1990). Untuk lebih jelas mengenai arti perkata tentang cope, penulis akan menguraikan sebagai berikut: C adalah control emotions (pengendalian emosi): yaitu reaksi yang terjadi dengan cepat pada pikiran atlet dan tubuh terbuka untuk menerima input yang mengandung aspek permusuhan (a hostile) yang menyebabkan munculnya perasaan gelisah, tegang, dan tubuh menjadi siap secara fisiologi. Respons ini dikenal dengan istilah refleks “fight or fight” dalam sistem syaraf simpatik. O adalah organize input. (pengelolaan input): Dalam masalah ini atlet secara rasional menyepakati terhadap input. Atlet akan mengetahui perbedaanperbedaan antara informasi yang penting dan tidak penting yang diterima oleh diri atlet, sehingga atlet mampu untuk mengelola input dengan sebaik-baiknya. P adalah plan response (merencanakan respons). Atlet akan memfokuskan pada perasaan yang tidak menyenangkan, untuk mencegah dan memelihara keadaan siap secara optimal (optimal readiness) dalam dirinya untuk mempersiapkan respon-respon berikutnya. Atlet harus cepat merencanakan kegiatan-kegiatan berdasarkan feedback (umpan balik) dan pengalaman yang diperolehnya. Misalnya atlet mengakui kekuatan lawan dan strategi yang akan digunakannya dalam pertandingan, dengan pengalaman tersebut atlet akan berkonsentrasi dalam memperbaiki penampilannya setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan. E

adalah

Execute

(pelaksanaan):

Atlet

menampilkan

berbagai

keterampilannya secara tepat, cepat, dan teliti tanpa melibatkan proses berpikir. Artinya, atlet akan berupaya untuk merespon input secara cepat tanpa dipikir terlebih dahulu tentang apa yang harus diperbuat (otomatisasi). Upaya tersebut penting dilakukan atlet terutama setelah menerima input-input negatif. Atlet yang diintimidasi dengan perkataan yang mengecilkan hatinya dalam pertandingan,

3

akan mempunyai sifat ragu-ragu untuk mengambil tindakan yang beresiko, kurang kepercayaan diri (less self confidence) dalam melakukan penampilannya. Pada tahapan ini bagaimana atlet penampilkan performanya dengan penuh rasa percaya diri, tegas, siaga, dan tetap konsentrasi.

B. Dasar Pemikiran Strategi Coping Dalam lingkungan olahraga, atlet harus mampu mengelola tuntutantuntutan individu dengan mengidentifikasi kemampuan mereka. Efektifitas coping dalam olahraga adalah proses penyesuaian dengan penampilan atlet di dalam aktivitas olahraga, maksudnya atlet melakukan coping terhadap situasi-situasi yang mengakibatkan munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam situasi tersebut, tentunya harus melibatkan aspek kognitif, emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai kompetensi yang dimiliki atlet. Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan (sumber-sumber, perilaku coping) yang mampu mengatasi tuntutan-tuntutan (stressors). Madden (1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan dengan baik merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis setiap orang akan siap menghadapi berbagai tuntutan yang datang pada dirinya. Upaya yang bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan melakukan kegiatan relaksasi. Latihan merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, begitupun stress dapat dikurangi dengan melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti perasaan takut, ketegangan otot dan sebagainya bisa dikurangi. Relaksasi adalah teknik coping yang bisa mengurangi tingkat arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi didasarkan pada prinsip Wolpe’s tentang principle of reciprocal inhibition menganggap bahwa respon-respon maladaptive (seperti, ketegangan yang diakibatkan oleh stress) dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau menghambat untuk memulai dan melakukan sesuatu. Jika seseorang bisa menyebabkan keadaan relaks, secara

4

logika tidak konsisten dan berlawanan dengan keadaan psikologis. Selain itu, Madden (1995) mengatakan strategi kognitif seperti associative dan dissociative merupakan strategi coping pada atlet untuk memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya (associative strategy), dan pemikiran dan perasaan yang membantu untuk mengambil perhatian dari atlet pada kondisi fisiologis (dissociative strategies). Pengaruh yang signifikan pada lingkungan yang terdiri dari stimuli akan dirasakan atlet dalam pertandingan. Konsep coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya dengan lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi hierarkhi yang berkembang dari yang belum matang (immature) dan mekanisme primitif yang menyimpang dari kenyataan, kepada mekanisme yang matang. Lazarus dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997) merumuskan strategi hierarkhi merespon, sebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling tinggi dan meningkat pada kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme coping yang baik untuk digunakan. Apruebo (1997) mengidentifikasi lima hierarkhi pada strategi coping. Pertama, strategi coping yang disebabkan oleh episode-episode stress dalam kehidupan. Strategi ini mencakup: 1) pengendalian diri (self control, 2) humor, 3) menangis (crying), 4) bersumpah (swearing), 5) Tangisan (weeping), 6) sombong (boasting), 7) membicarakan (talking it out), 8) Berpikir tentang ide (thinking though), dan 9) Bekerja mengurangi energi (working of energy). Strategi ini efektif jika digunakan dengan tepat sebagai pertolongan pertama, bagaimanapun strategi atau pengaturan secara primitif (immature) tidak cocok digunakan pada tingkatan yang ekstrim, seperti banyak menangis, banyak bicara, mudah tertawa, hilangnya sifat marah, gelisah, dan perilaku aneh yang tidak menentu lainnya. Kedua, strategi coping yang tidak terkendali dan mengancam adanya ketidakseimbangan, maksudnya terjadi kekacauan (disorganization) secara internal, karena pengaturannya lebih bersifat primitif. Misalnya: 1) penarikan diri dan memisahkan diri (withdrawal dissociation) seperti narcolepsy (kondisi patologis di mana seseorang memiliki suatu keinginan yang tak terkendalikan untuk tidur serta memiliki periode-periode tidur yang berulang-ulang antara

5

beberapa menit hingga beberapa jam), amnesia (ketidakmampuan mengingat kejadian-kejadian terdahulu akibat kerusakan otak atau trauma fisik), dan depersonalisasi (hilangnya kesadaran akan realitas atau kesadaran identitas). 2) penarikan diri oleh pemindahan agresi seperti: aversion (keengganan atau sikap atau perasaan tidak senang terhadap sesuatu yang disertai dengan impuls untuk menjauhkan diri), berprasangka, phobia, dan sikap counter phobic), 3) penggantian pada simbol-simbol dan modalitas untuk lebih terus terang atau jujur seperti: compulsions (keadaan yang memaksa untuk berbuat sesuatu atau impuls yang kuat untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan), dan ritual, 4) penggantian diri atau sebagian diri sebagai objek pada pemindahan agresi seperti: self imposed (dibebankan pada diri sendiri), restriction dan abasement (pembatasan dan kerendahan diri), dan mabuk-mabukan). Ketiga, strategi coping yang ditunjukkan secara episodik, ledakan secara eksplosif disebabkan adanya energi agresif yang berlebihan atau kurangnya pengaturan seperti kekerasan, perilaku agresif, convulsion (kejang pada tubuh yang sangat hebat), dan panic attacks. Keempat, strategi coping yang ditunjukkan pada peningkatan kekacauan (increased disorganization). Kelima, strategi coping dengan adanya disintegrasi total pada ego yang ditandai dengan gangguan dan kekacauan. Bagaimanapun banyak strategi coping yang ditandai dengan tidak adanya control dan tidak adanya keseimbangan dalam melakukan coping. Vaillant dalam Apruebo (1997) mengklasifikasikan mekanisme coping ke dalam empat tingkatan yaitu: (1) peningkatan mekanisme psikotic seperti penolakan pada realitas eksternal, adanya perubahan dan projeksi angan-angan; (2) melalui mekanisme yang belum matang (immature) meliputi pantasi, projeksi, hypocondriasis (suatu reaksi neurotik dimana seseorang merasa sangat berkepentingan dengan kesejahteraan fisiknya dan terus menerus mengeluh terhadap penyakit paling ringan sekalipun. Keadaan ini biasanya dibarengi dengan perhatian yang serius terhadap gejala-gejala penyakit yang sebenarnya hanya ada dalam bayangannya), dan perilaku agresif pasif. Maksud projeksi dalam pernyataan tersebut adalah mempertalikan motif-motif atau pikiran-pikiran sendiri dengan motif dan pikiran orang lain, seperti orang menipu mengira bahwa

6

orang lain akan menipu dirinya, atau keburukan yang diketahuinya ada pada diri sendiri dapat dilihat oleh orang lain. Projeksi juga merupakan proses mempertalikan pendirian, perasaan dan pemikiran yang dimiliki seseorang kepada orang lain, terutama pendirian, perasaan dan pemikiran yang tidak disukai, menganggap stimuli objektif secara subjektif. (3) dengan mekanisme neurotic, meliputi intelektualisasi, represi, dan reaksi-formasi; (4) pada tingkatan yang lebih tinggi diketahui sebagai mekanisme yang matang (mature) seperti sublimasi, altruisme (sifat mementingkan orang lain), suppression (penindasan/proses merintangi impuls-impuls atau pemikiran-pemikiran yang kurang berkenan secara sadar dan disengaja, misalnya seseorang yang merintangi sendiri keinginannya untuk memukul orang lain), antisipasi dan humor. Haan dalam Apruebo (1997) mengusulkan proses ego dalam istilah tripartite hierarchical arrangement yaitu: (1) coping diekspresikan dengan maksud menganalisis secara logika melalui proses generik dan maksud secara simbolik; (2) mempertahankan rasionalisasi; (3) Fragmentasi secara eksplisit dalam confabulasi (tindakan memenuhi ingatan dengan pernyataan-pernyataan yang masuk akal, tetapi pada kenyataanya tidak benar, orang yang melakukannya berkeyakinan bahwa penyataan-pernyataannya benar). Selanjutnya, kepekaan tersebut, diekspresikan sebagai empathy yaitu aktul coping, projeksi, dan rasionalisasi. Madden (1995) mengungkapkan strategi coping yang dilakukan seseorang yaitu dengan cara problems focused dan emotional focused. Problem focused berorientasi pada penyelesaian masalah dengan cara mencapai penyelesaiannya. Usaha yang dilakukan mencakup beberapa tahap, yaitu mengidentifikasi masalah, mengumpulkan alternatif pemecahan masalah, mempertimbangkan alternatif tersebut, memilih alternatif terbaik dan akhirnya mengambil tindakan. Contoh, atlet football akan menggunakan kawan seregunya sebagai sebuah “monitor” untuk menghindarkan penutupan lawan. Sikap dan perilaku demikian diarahkan kepada lingkungan seperti mengubah tekanan, hambatan, sumber yang menghasilkan stress dalam lingkungan. Sikap dan perilaku tersebut, juga dapat diarahkan kepada dirinya sendiri, yang meliputi pengerahan motivasi, perubahan

7

penilaian kognisi dan tingkat aspirasi, mengembangkan standar perilaku baru dan memperlajari keterampilan-keterampilan baru. Emostional focused maksudnya tekanan emosional yang dialami seseorang yang berusaha dikurangi tanpa mengubah kondisi objektif dari situasi yang ada. Bentuk reaksi tersebut berupa penghindaran, mengurangi tekanan hingga minimal, membuat jarak, memberi perhatian secara selektif, atau memberi makna positif terhadap situasi yang negatif. Cara ini digunakan untuk menjaga keyakinan diri dan harapan, menyangkal fakta dan akibat yang mungkin dihadapi, bereaksi seolah-olah sesuatu tidak pernah terjadi atau tidak menimbulkan masalah karena dipandang tidak ada gunanya mengetahui kenyataan buruk. Lazarus and Folkman (1984) menurunkan dimensi-dimensi pada coping stress yang berorientasi pada problem focused, dimensi tersebut adalah sebagai berikut: (1) berusaha mendapatkan beberapa alternatif pemecahan masalah yaitu menunjukan arah, kekuatan, intensitas dan frekuensi usaha-usaha dalam mengatasi

masalah

mengumpulkan

yang

informasi

dipersepsikan yaitu

mengandung

menggambarkan

bebas

banyaknya

stress;

(2)

keterangan-

keterangan yang berhasil mereka pelajari untuk diorganisasikan menjadi bentuk pengetahuan tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah yang sedang mereka hadapi; (3) merencanakan tindakan yang mencakup sejumlah perencanaan yang dipersiapkan guna mengantisipasi permasalahan yang harus mereka selesaikan. Sedangkan yang berkaitan dengan dimensi-dimensi pada coping stress yang berorientasi pada emotional focused, meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut: (1) mencari dukungan emosional, yaitu menggambarkan usaha-usaha individu untuk mencari dan memperoleh dukungan emosional yang dapat memberikan rasa aman kepada kehidupan pribadinya, khususnya berkaitan dengan gejolak emosi yang dirasakannya berkaitan dengan beban masalah yang sedang mereka alami; (2) membuat jarak, yaitu usaha-usaha individu untuk mengurangi kontak atau interaksi dengan suatu objek atau subjek yang dipersepsikan berpotensi memberi beban stress pada dirinya; (3) menghindar, yaitu gambaran perilaku individu yang lebih banyak bersikap menghindar dan

8

menarik diri dalam keterlibatan sosial dengn harapan mampu mengendalikan gejolak dalam kehidupan emosi berkaitan dengan permasalahan yang harus dihadapi; (4) memberi perhatian pada aspek-aspek positif dari situasi yang dihadapi. Menggambarkan usaha individu untuk mengabaikan sisi negatif dari segenap kejadian dengan mencoba menilai hal-hal

yang positif dalam setiap

permasalahan dan menganggap bahwa semua keputusan atau tindakan adalah benar dan beralasan; (5) tidak peduli, yaitu aspek yang menunjukkan reaksi perilaku individu yang cenderung membutakan diri terhadap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya, meskipun hal tersebut berkaitan dengan kepentingan dan keberadaan dirinya.

Pengukuran Keterampilan Coping Untuk mengukur coping stress yang dilakukan seseorang, harus menentukan subjek dan merekontruksi cara orang tersebut dalam menghadapi situasi yang menyebabkan stress dan menceritakan segala sesuatu yang mereka pikirkan, rasakan dan lakukan. Semua individu harus mengungkapkan pengalaman dan perasaan hidupnya yang terjadi dan sesuatu yang dapat dilakukan dengan keadaan tersebut, dengan demikian akan menggugah suatu perilaku yang dapat diidentifikasi sebagai coping stress. McGrath (1997) mengatakan dalam sebuah katalog bahwa penilaian skala akan digunakan untuk mengukur coping stress, penilaian tersebut digunakan dalam psikometrik dengan tujuan mengklasifikasi perilaku. Kerlinger (1997) juga mengatakan untuk mengukur stress sebagai objek, digunakan penilaian skala, dengan mengamatinya secara langsung. Kerlinger mendefinisikan bahwa penilaian skala merupakan instrumen pengukuran yang dibutuhkan pengamat (observer) untuk menentukan objek atau kategori pada apa yang mereka amati. Berdasarkan teori dan empirik Apruebo (2005) dalam menggunakan penilaian skala dalam kontruksi Stress Rating Scale for Student Athletes (SRSSA) dan Coping Mechanism Stress Rating Scale (CMSRS). SRSSA dikembangkan untuk mengidentifikasi perbedaan gejala stress dan situasi stress. Terdapat lima poin penilaian skala yang tediri dari 184 item yang berisi tiga dimensi stress yaitu:

9

1) physical biological (P-B), 2) Cognitive (COG), dan 3) Predispositional (PreD). Physical biological stress (P-B) adalah perubahan yang dirasakan dari suatu tempat dalam sistem yang bervariasi pada tubuh mengenai suasana, objek, dan tempat; dalam merespon stress pada latihan fisik seperti temperatur tubuh, sistem pernapasan, sirkulasi, sistem kardiovaskuler, tulang otot (skeletal muscles), dan stimulus psikis; dalam mengelola diet dan sistem nutrisi; dalam mereaksi zatzat psikoaktif (psychoactive substance) seperti alkohol, obat-obatan, dan tembakau; dan dalam atlet yang mempunyai sifat mudah terserang luka (vulnerability) seperti kesakitan, penyakit, cedera, dan atau kecelakaan. Kognitif stress (COG) adalah menjelaskan proses penilaian stress pada atlet yang menghadapi masalah pribadi. Stress yang dialami seseorang tentu berbeda-beda dan berbeda pula dalam derajat interpretasi dan mereaksinya; tingkat sensitivitas dan sifat yang mudah terserang stress dihasilkan dari pola pemikiran dan perilaku belajar. Predispositional stress (PreD) menunjukkan sifat atlet yang mudah terserang stress yang cenderung muncul dari tubuh, personal, emosional, motivasi, sosial, keterampilan, penampilan, dan lingkungan atau dimensi-dimensi sosial. CMSRS dikonstruksi untuk mengindentifikasi perbedaan cara coping yang dialami seseorang dari peristiwa stress yang terjadi beberapa waktu. CMSRS terdiri-dari 70 item yang berisi empat dimensi coping yang terfokus pada: (1) problems (Pro); (2) emotion (EMO); (3) interpersonal (Int); (4) Faulty (FY). Coping yang terfokus pada masalah (problems) mengacu kepada perencanaan, pemecahan masalah, berpikir logis, dan memecahkan sesuatu untuk mengubah sumber stress. Coping yang terfokus pada emosi yaitu untuk mengurangi dan mengelola emosional distress yang dihubungkan dengan situasi. Dalam coping tersebut meliputi pembentukan religi, menangis, rasa humor, kematangan emosional, dan rasa menerima (acceptance). Coping yang terfokus pada interpersonal yaitu untuk mencari nasehat, bantuan, dan informasi. Memperoleh dukungan moral, simpati, dan pemahaman dari orang lain. Sedangkan coping yang terfokus pada kesalahan (faulty) menunjukkan coping

10

negatif atau kurangnya pola coping yang tersusun dari belajar yang salah, tidak berdaya, agresi, perilaku, mental, dan melupakan alkohol dan obat-obatan. Menggunakan

instrumen

SRSSA

dan

CMSRS,

Apruebo

(1997)

menemukan skor yang diperoleh atlet pada pertandingan bola basket, bola voli, softball, baseball, dan soccer football yang dikategorikan dari Politeknik University of the Philippines (PUP) yang tercatat rendah dalam Physical Biological (P-B) tetapi tinggi pada dimensi stress pada Cognitive (COG) dan Predispositional (PreD) di SRSSA. Pada mekanisme coping, skor atlet rendah dalam Problems (Pro), moderat dalam Emotion (Emo) dan Interpersonal (Int), tetapi tinggi dalam Faulty (FY) dalam CMSRS. Apruebo (1997) telah menunjukkan implikasi yang relevan pada konstruksi lokal SRSSA dan CMSRS. Perkembangan dan menggunaan instrumen tersebut, dibutuhkan untuk mendiagnosa dan memprediksi dimensi stress dan mekanisme coping, di mana peneliti mengidentifikasi tingkat stress dan peneliti menetapkan perbedaan hubungan yang signifikan pada variabel mekanisme coping dan dimensi lainnya. Penggunaan instrumen ini dibutuhkan untuk menetapkan

norma

yang

membantu

peneliti

untuk

menganalisis

dan

menginterpretasi data untuk lebih berarti, valid, dan menginterpretasikan skor dengan relevan. Banyak instrumen yang digunakan untuk mengukur coping yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan gaya coping di dalam olahraga. Beberapa instrumen tersebut, digambarkan sebagai berikut: 1. Madden’s Way of Coping with Sport (WOCS). Instrumen ini mengukur coping yang terfokus pada masalah, melihat dukungan sosial, emosional secara umum, peningkatan usaha dan pemecahan masalah, penolakan/menyangkal, sikap yang tak terpengaruh (detachment), impian khayalan (wishful thinking), dan menentukan gaya coping positif. Instrumen ini telah digunakan pada pemain bola basket (Madden, 1995). 2. McDonald and Madden’s Way of Coping with Injury (WOCI). WOCI adalah instrumen psikometrik untuk memonitor cara-cara atlet mengatasi cedera. Instrumen ini disusun pada pemikiran dan aktivitas atlet dan pemain yang

11

cedera selama latihan atau pertandingan. Mood disturbance dan self esteem adalah dua dimensi pokok dalam WOCI (McDonald and Madden, 1991). 3. Madden’s and Evan’s Mental Attributes of Performance (MAPS). Madden dan Evans (1993) mengembangkan MAPS, yaitu sebuah instrumen yang menggambarkan aspek mental pada penampilan (strategi coping) dari penampilan ke penampilan. Instrumen ini mulai digunakan pada strategi coping pelatih dan pemain Australian Rules Football. Item MAPS mengacu kepada perasaan atau pengalaman mereka dalam mempersiapkan selama penampilan. MAPS telah diketahui reliabilitas dan validitasnya. MAPS mempunyai sembilan skala yaitu: (1) attention; (2) proactive problem-focused coping; (3) arousal; (4) communications; (5) self control; (6) effort; (7) task focus; (8) risk taking and commitment; dan (9) self-assurance. 4. Thomas and Over’s Golf Performance Survey (GPS). Instrumen GPS telah dikembangkan khusus pada pemain golf. Penggunaan instrumen ini yaitu pada keterampilan dan strategi seorang pegolf. Thomas dan Over (1994) menyatakan bahwa keterampilan pegolf mempersiapkan mental, consentrasi, beberapa emosi negatif dan kognitif, psikomotor yang otomatis, dan komitmen pegolf. 5. Sport Inventory for Pain (SIP). Instrumen SIP dikembangkan oleh Meyers, Bourgeois, Stewart, dan LeUnes (1992) untuk mengukur perbedaan atlet dalam

merespon

perasaan

sakit.

Coping,

cognitive,

avoidance,

catastrophising, dan body awareness adalah merespon perasaan sakit dalam sub skala pada SIP yang menunjukan perbedaan cara coping pada perasaan sakit atau cedera.

Strategi Coping yang Digunakan Atlet Top Strategi coping yang dilakukan atlet top (elite player) beraneka ragam sehingga mereka benar-benar dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal. Atlet top harus mampu melakukan pencegahan terhadap berbagai macam penyebab stress. Atlet dalam mengatasi stress atau situasi yang tidak menyenangkan, seringkali melakukan upaya seperti

12

1) merencanakan sesuatu pada penampilan mereka, apa yang akan terjadi sebelum atau selama pertandingan, 2) mempunyai kurang lebih satu alternatif perilaku untuk merencanakan aksi (Rushall, 1979). Orlick (1980) mengatakan bahwa cara terbaik untuk mencegah perasaan panik dan cemas adalah mulai berpikir tentang pemecahan masalah sebelum masalah itu tiba. Atlet dalam hal ini harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri untuk memecahkan permasalahan tersebut. Atlet elit biasanya merencanakan dan menampilkan berbagai strategi coping selama latihan atau pertandingan, sehingga situasi pelatihan dan pertandingan berada dalam situasi stress yang terkendali. Selanjutnya Nicholas Holt (2005) menjelaskan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam coping stress yaitu evaluation and strategic planning, proactive psychological strategies, dan reactive psychological strategies.

Evaluasi dan Perencanaan Strategi Dalam mengevaluasi dan merencanakan strategi coping, biasanya seseorang menggunakan tiga teknik yang memungkinkan dapat merencanakan strategi dengan efektif. Strategi tersebut adalah: 1) Mempelajari lawan (learning about opponents). Strategi ini dilakukan atlet dengan tujuan untuk mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan dari pengalaman-pengalaman yang pernah diketahui sebelumnya. Atlet diharapkan 90% dapat mengetahui apa kekuatan dan kelemahan lawan. Bayangkan kembali apa yang telah diperbuat atau dicapai oleh lawan pada berbagai pertandingan sebelumnya, dan tentukan strategi apa yang harus dilakukan untuk menghadapi lawan tersebut. 2) Reading (new) opponents (membaca lawan baru). Atlet dalam pertandingan biasanya dihadapkan dengan lawan tanding baru, sebelum atlet bertanding dengan lawan baru perlu menerapkan strategi dengan cara membaca lawan. Strategi ini penting karena atlet/pelatih dapat menilai lawan baru dengan cepat, misalnya melihat bagaimana cara lawan berdiri, menilai bahasa tubuhnya, sehingga atlet mengetahui apakah lawan benar-benar siap untuk bertanding atau

13

belum. Atlet biasanya menggunakan berbagai informasi untuk mengeksploitasi kelemahan-kelemahan lawan. 3) Understanding condition (memahami kondisi). Atlet belajar untuk memahami kondisi lingkungan, dan berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan kondisi lapangan untuk menerima berbagai tuntutan dalam pertandingan.

Proactive Psychological Strategies Proaktive

psychological

strategies

bertujuan

untuk

membangun

kepercayaan diri dan memelihara konsentrasi secara proaktif. Atlet yang proaktif akan menggunakan keterampilannya dalam mengantisipasi apa yang mereka butuhkan. Proactive psychological strategies meliputi: 1) Confidence building (membangun kepercayaan). Strategi ini penting bagi atlet dalam memelihara dan memproteksi kepercayaan untuk mengelola berbagai tekanan. Atlet yang dapat menampilkan performa yang baik berarti atlet mempunyai kepercayaan diri yang baik. Di samping itu atlet melakukan latihan mental (mengingat dan merenungkan permainan-permainan yang lalu), dan tidak lupa melakukan self talk. 2) Maintaining concentration (mempertahankan konsentrasi). Konsentrasi adalah penting bagi atlet karena atlet perlu konsentrasi lebih lama pada pertandingan. Atlet juga harus mengembangkan kemampuan tersebut dengan tujuan mengalihkan konsentrasinya ketika dibutuhkan, dan melakukan konsentrasi rutin untuk melakukan tugas-tugas tertentu,

rutin dalam pernyataan tersebut

adalah: (1) berpikir tentang tugas-tugas sebelumnya, dan berpikir apa yang akan dilakukan berikutnya, 2) berhenti berlari untuk memperoleh ide cemerlang dalam pikiran anda apa yang akan dilakukan, 3) mulai melakukan lari dan jangan merubah keputusan anda.

Reactive Psychological Strategies Atlet mempunyai dua keterampilan reaktif yang digunakan untuk menilai dirinya pada saat penampilannya menurun. Keterampilan reaktif ini adalah resilience dan self-talk. Resiliance maksudnya atlet dalam mengatasi kesalahan

14

biasanya dengan cara mendisplay resiliance atau the ability of bounce back. Atlet menggunakan resiliance pada tingkat spesifik setelah terjadi kesalahan. Jadi jika atlet melakukan kesalahan dalam melakukan kegiatan, atlet tetap confidence dan tidak membuat berhenti berlatih. Beberapa strategi coping lainnya yang biasa dilakukan atlet top dalam menghadapi tekanan dalam olahraga adalah sebagai berikut: Strategi Coping pada Saat Terjadi Cedera Salah satu bagian yang sangat tidak disukai dalam olahraga kompetitif adalah terjadi cidera. Atlet dalam menghadapi cidera, tentu memiliki cara yang berbeda-beda, seperti kemampuan menerima keadaan apabila mereka mengalami cidera (pain threshold) dan toleransi terhadap terjadinya cidera (pain tolerance). Ryan (1976) dalam Anshel (1990:37) telah mempelajari ambang kesakitan dan kemampuan untuk mendeteksi perasaan sakit pada waktu cedera. Sehingga dari apa yang dipelajarinya, tidak ditemukan perbedaan dalam tingkat ambang kesakitan pada tiga kelompok atlet (atlet kontak body langsung, atlet tidak kontak langsung, dan kelompok non atlet). Perbedaan nampak dalam kemampuan toleransi terhadap cedera. Hasil studi menunjukkan bahwa, atlet yang mengikuti kontak body langsung mampu melakukan toleransi terhadap cedera, diikuti oleh atlet tidak kontak langsung, sedangkan non atlet hanya bisa mentolelir aspek yang tidak menyenangkan. Toleransi terhadap perasaan sakit lebih berhubungan dengan faktor lingkungan dan faktor psikologis. Atlet top biasanya mengikuti empat langkah dalam melakukan coping terhadap perasaan sakit atau cedera. Anshel (1990) mengatakan: 1. Atlet menggunakan strategi kognitif. Atlet top mempersiapkan diri apabila terjadi cedera dengan mengembangkan self-statement dan mental imagery untuk menangani masalah yang terjadi. Contoh, atlet konsentrasi pada lawan dan fokus pada teknik yang dilakukan, dan mengatakan saya bisa menanggulangi cidera atau kelelahan. 2. Atlet menghadapi dan menangani cedera. Untuk mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan, atlet biasanya menggunakan self-statement seperti, “saya akan mengabaikan tubuh saya, konsentrasi pada lawan saya.

15

3. Atlet elit mengatasi cidera pada momen yang kritis. Seorang pesaing akan membolehkan dirinya merasakan perasaan yang tidak menyenangkan hanya pada waktu tertentu. Contoh, atlet fokus pada cedera hanya sebelum pertandingan, dan mereka akan mengabaikan cedera ketika menampilkan gerak di lapangan dan ketika konsentrasi pada lawan.

Strategi Coping pada Kelelahan Atlet top tentu mempunyai kondisi fisik yang baik, tetapi dalam pertandingan terkadang atlet tidak menunjukkan keberhasilan. Dengan kata lain, meskipun kondisi fisik dan kualitas penampilannya baik bukan merupakan jaminan dalam mencapai keberhasilan. Kebugaran fisik tidak selalu dapat mengatasi berbagai tugas yang harus dilakukan, yang lebih penting adalah kemampuan untuk mencegah kelelahan fisik yang mengganggu penampilan secara signifikan. Atlet top cenderung menggunakan satu atau dua teknik mental dalam mengatasi perasaan lelah yaitu association dan dissociation. Tujuan association pada diri atlet, untuk memelihara upaya-upaya penting dan motivasi untuk memenuhi tantangan dan tujuan personal. Contoh, Pelari jarak menengah Swedia mengatakan, selalu konsentrasi pada saat menginjakkan kakinya pada setiap langkah, pelari ini mengikuti tuntutan internal pada penampilan yang menyebabkan kelelahan. (Iso-Ahola and Hatfield, 1986; dalam Anshel, 1990). Association dapat meledak sebelum waktunya (backfire) jika atlet memfokuskan pada tuntutan internal seperti pada cedera. Ahli psikologi olahraga menemukan alasan mengapa atlet yang cedera tidak kembali kepada kualitas penampilan mereka terdahulu meskipun istirahat secara fisik penuh, alasannya perhatian mereka tidak benar-benar fokus pada cidera dibanding faktor lingkungan seperti tim, dan lawan. Disociation memerlukan mental yang khusuk pada pertandingan yang sifatnya eksternal yang tampil sebagai penentang perasaan internal. Pelatihan yang menggunakan musik, merupakan contoh pelayanan fungsi disociation yang fokus pada perhatian dan penampilan yang bersifat eksternal. Musik direspon oleh

16

fisik yang mengakibatkan latihan penuh semangat (Anshel and Marisi, 1978). Teknik ini dapat membantu memulihkan kelelahan pemain dan memelihara perasaan yang tidak menyenangkan yang turut campur aspek kognitif pada pertandingan.

Orientasi Kedepan ............ Ringkasan Coping adalah upaya seseorang baik secara kognitif, afektif, dan perilaku untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal secara spesifik. Coping stress merupakan metoda yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau emosi-emosi negatif yang mengancam keseimbangan diri. Terdapat lima hierarkhi pada strategi coping: (1) strategi coping yang disebabkan oleh episode-episode stress dalam kehidupan, seperti: a) self control, b) humor, c) crying, d) swearing, e) weeping, f) boasting, g) talking it out, h) thinking though, dan i) working of energy; (2) strategi coping yang tidak terkendali dan mengancam adanya ketidakseimbangan, seperti: a) withdrawal dissociation (seperti narcolepsy, depersonalisasi). b) penarikan diri oleh pemindahan agresi (seperti aversion); c) penggantian pada simbol-simbol dan modalitas untuk lebih terus terang atau jujur (seperti compulsions, dan ritual); d) penggantian diri atau sebagian diri sebagai objek pada pemindahan agresi (seperti: self imposed, restriction, dan abasement); (3) strategi coping yang ditunjukkan secara episodik, ledakan secara eksplosif disebabkan adanya energi agresif yang berlebihan atau kurangnya pengaturan (seperti

kekerasan, perilaku agresif,

convulsion, panic attacks); (4) strategi coping yang ditunjukkan pada peningkatan kekacauan (increased disorganization); (5) strategi coping dengan adanya disintegrasi total pada ego yang ditandai dengan gangguan dan kekacauan. Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam coping stress yaitu: Evaluation and strategic planning seperti: 1) learning about opponents,

2)

reading (new) opponents, 3) understanding condition; Proactive psychological

17

strategies, seperti: 1) confidence building, 2) maintaining concentration Sedangkan reactive psychological strategies, seperti: 1) resilience dan 2) selftalk. Strategi coping yang digunakan atlet top adalah pada saat terjadi cedera, seperti: 1) atlet menggunakan strategi kognitif, 2) atlet menghadapi dan menangani cedera, 3) atlet elit mengatasi cidera pada momen yang kritis. Sedangkan pada kelelahan, biasanya dengan cara (association dan dissociation). Instrumen yang digunakan untuk mengukur coping diantaranya adalah (1) Madden’s Way of Coping with Sport (WOCS); (2) McDonald and Madden’s Way of Coping with Injury (WOCI); (3) Madden’s and Evan’s Mental Attributes of Performance (MAPS); (4) Thomas and Over’s Golf Performance Survey (GPS). (5) Sport Inventory for Pain (SIP).

Pertanyaan Diskusi 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan coping dan coping stress? 2. Metoda apa saja yang bisa dijadikan sebagai strategi coping? 3. Apa yang harus diperhatikan dalam strategi coping? 4. Sebutkan lima hierarkhi dalam strategi coping? 5. Mengapa atlet dalam olahraga perlu memiliki kemampuan coping? 6. Strategi coping apa yang bisa dilakukan atlet, tatkala atlet mengalami cedera, dan kelelahan? Daftar Pustaka Anshel, Mark. H. (1997). Sport Psychology. From Theory to Practice. Third Edition. USA: Gorsuch Scarisbrick, Publishers. Apruebo, Roxel. A. (1997). Coping Mechanisme Stress Rating Scale. Manual. Manila: National Library. Apruebo, Roxel. A. (2005). Sport Psychology. Manila, Philipines: UST Publishing House. Crocker, Kowalski, & Graham, Lazzarus. (1999). Measurement of Coping Strategies in Sport. Morgantown, WV: Fitness Information Technology.

18

Haan, Selye. (1997). Stress Without Distress. New York: J.B. Lippencott Company. Kerlinger, F. N. (1986). Foundation of Behavioral Research. Third Edition. CBS. College Publishing. Lazzarus, R. S. (1984). Psychological Stress and The Coping Process. New York: McGraw Hill. Lazzarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer. Madden, Chris. (1995). Sport Phychology: Theory, Applications and Issues. Eds. Tonny Morris and Jeff Summers. New York: John Wiley and Sons. Nocholas, L. Holt. (2002). Coping in Profesional Sport: A Case Study of an Experienced Cricket Player. Journal of Sport & Exercise Psychology, 16, 110-120. Orlick, Terry. (1998). How to Manage Stress. USA: Mind Tool Ltd. http://www.mindtools.com/stresscn.html. Satiarsiatun (2003). Hubungan Self-Esteem, Motivasi Berprestasi dengan Coping Stress: Tesis. Tidak Diterbitkan. Scanlan, T.K. Stein, G.L., & Ravizza, K. (1991). An in-depth Study of Former Elite Figure Skaters: III Sources of Stress. Journal of Sport & Exercise Psychology, 13, 102-120.

Lihat lebih banyak...

Komentar

Hak Cipta © 2017 CARIDOKUMEN Inc.